Jumat, 27 Januari 2012

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Kesehatan adalah hak dan investasi, semua warga negara berhak atas kesehatannya karena dilindungi oleh konstitusi seperti yang tercantum dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat kedua dimana tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dengan berpedoman pada kalimat tersebut maka dapat dijelaskan bahwa semua warga negara tanpa kecuali mempunyai hak yang sama dalam penghidupan dan pekerjaan, penghidupan disini mengandung arti hak untuk memperoleh kebutuhan materiil seperti sandang, pangan dan papan yang layak dan juga kebutuhan immateri seperti kesehatan, kerohanian, dan lain-lain. Demikian juga halnya kesehatan dapat pula diartikan investasi karena kesehatan adalah modal dasar yang sangat diperlukan oleh segenap masyarakat untuk dapat beraktifitas sesuai dengan tugas dan kewajibannya masing-masing sehingga mampu menghasilkan sesuatu yang bermanfaat secara ekonomi. Namun bila kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan bisa-bisa seluruh harta dan kekayaan yang mereka peroleh habis digunakan untuk memperoleh kesehatan tersebut.
Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Kesehatan yang menyebutkan bahwa kesehatan rakyat adalah salah satu modal pokok dalam rangka pertumbuhan dan kehidupan bangsa dan mempunyai peranan penting dalam penyelesaian revolusi nasional dan penyusunan masyarakat sosialis Indonesia. Sehingga pemerintah harus mengusahakan bidang kesehatan dengan sebaik-baiknya, yaitu menyediakan pelayanan kesehatan yang memadai dan dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat umum.
Namun harus diakui bahwa kualitas kesehatan masyarakat Indonesia selama ini tergolong rendah. Selama ini masyarakat, terutama masyarakat miskin, cenderung kurang memperhatikan kesehatan mereka. Hal ini dapat disebabkan karena rendahnya tingkat pemahaman mereka akan pentingnya kesehatan dalam kehidupan, padahal kesadaran rakyat tentang pemeliharaan dan perlindungan kesehatan sangatlah penting untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggitingginya. Tetapi, disisi lain, rendahnya derajat kesehatan masyarakat dapat pula disebabkan oleh ketidakmampuan mereka untuk mendapatkan pelayanan kesehatan karena mahalnya biaya pelayanan yang harus dibayar. Tingkat kemiskinan yang tinggi menyebabkan masyarakat miskin tidak mampu memenuhi kebutuhan akan pelayanan kesehatan yang tergolong mahal. Banyak penelitian empiris yang menyatakan bahwa kesehatan berbanding terbalik dengan kemiskinan, dimana ada kemiskinan maka masalah kesehatan akan semakin nyata terjadi.
Biaya kesehatan yang mahal menjadi kendala bagi masyarakat miskin untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai. Ada beberapa faktor yang mendorong peningkatan biaya kesehatan, yaitu :
1.    Sifat layanan itu sendiri, sifat dari pada suatu layanan kesehatan adalah padat modal, padat teknologi dan padat karya sehingga modal yang harus ditanam semakin besar dan dibebankan pada biaya perawatan.
2.    Bagaimana negara memandang masalah pelayanan kesehatan sebagai kebutuhan warga negaranya dan bagaimana negara menyelenggarakan dan memenuhi pelayanan kesehatan yang diperlukan (Sulastomo, 2004 ; 42-43).
Jika tidak segera diatasi, kondisi yang sedemikian rupa akan memperparah kondisi kesehatan masyarakat Indonesia, karena krisis ekonomi telah meningkatkan jumlah masyarakat miskin dan mengakibatkan naiknya biaya pelayanan kesehatan, sehingga semakin menekan akses mereka terhadap sektor ini karena biayanya yang semakin tak terjangkau. Kemiskinan merupakan salah satu persoalan utama yang dihadapi oleh Indonesia dari tahun ke tahun. Masalah ini semakin lama semakin tidak dapat terselesaikan, bahkan angka kemiskinan di negara kita semakin lama semakin meninggi karena krisis ekonomi yang terus berkepanjangan memperbesar jumlah penduduk miskin di Indonesia.
Pelayanan kesehatan terhadap segenap warga negara adalah menjadi tanggung jawab pemerintah seperti yang diamanatkan dalam undang-undang. Namun tidak dapat dipungkiri bila pelayanan kesehatan khususnya dari sector publik masih banyak kendala dan hambatan terutama dalam hal kualitas pelayanan. Tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan dari sektor publik masih cukup rendah hal ini dibuktikan dari beberapa penelitian empiris terhadap kualitas pelayanan di birokrasi pemerintahan daerah.
Berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan kalangan akademisi dan birokrat tentang pelayanan publik di Indonesia, ternyata kondisinya masih seringkali “ dianggap “ belum baik dan memuaskan. Hal ini ditunjukkan dari kesimpulan yang dibuat oleh Agus Dwiyanto, dkk dalam GDS (Governance and Decentralization ) 2002 di 20 propinsi di Indonesia tentang kinerja pelayanan publik menyebutkan “… secara umum praktek penyelenggaraan pelayanan publik masih jauh dari prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik “ (2003: 102).
Kemudian kinerja pelayanan birokrasi publik di Indonesia, berdasarkan laporan dari The World Competitiveness Yearbook tahun 1999 berada pada kelompok Negara-negara yang memiliki indeks competitiveness paling rendah antara 100 negara paling kompetitif di dunia (Cullen dan Cushman, dalam Dwiyanto, dkk., 2002: 15).
Sementara itu, kondisi masyarakat saat ini telah terjadi suatu perkembangan yang sangat dinamis, tingkat kehidupan masyarakat yang semakin baik, merupakan indikasi dari empowering yang dialami oleh masyarakat (Thoha dalam Widodo, 2001). Hal ini berarti masyarakat semakin sadar akan apa yang menjadi hak dan kewajibannya sebagai warga negara dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Masyarakat semakin berani untuk mengajukan tuntutan, keinginan dan aspirasinya kepada pemerintah. Masyarakat semakin kritis dan semakin berani untuk melakukan kontrol terhadap apa yang dilakukan oleh pemerintahnya.
Kesadaran akan hak-hak sipil yang terjadi di masyarakat tidak lepas dari pendidikan politik yang terjadi selama ini. Selama ini masyarakat cenderung pasrah dan menerima terhadap apa yang mereka dapatkan dari pelayanan aparatur pemerinta. Hal ini lebih diakibatkkan karena sikap dari aparatur pelayanan publik yang tidak berorientasi pada kepuasan masyarakat, pelayanan hanya bersifat sekedar melayani tanpa disertai rasa peduli dan empati terhadap pengguna layanan. Namum kondisi yang terbuka seperti sekarang ini mengharuskan aparatur sebagai pelayan publik lebih peduli lagi terhadap hak-hak sipil khususnya dalam pelayanan publik.
Pemerintah di dalam menyelenggarakan pelayanan publik masih banyak dijumpai kekurangan sehingga jika dilihat dari segi kualitas masih jauh dari yang diharapkan masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan masih munculnya berbagai keluhan masyarakat melalui media massa. Jika kondisi ini tidak direspon oleh pemerintah maka akan dapat menimbulkan citra yang kurang baik terhadap pemerintah sendiri. Mengingat fungsi utama pemerintah adalah melayani masyarakat maka pemerintah perlu terus berupaya meningkatkan kualitas pelayanan publik (Men PAN, 2004 : 5).
Pelayanan merupakan tugas utama yang hakiki dari sosok aparatur, sebagai abdi negara dan abdi masyarakat. Tugas ini telah jelas digariskan dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat, yang meliputi 4 (empat) aspek pelayanan pokok aparatur terhadap masyarakat, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Dalam kondisi masyarakat seperti digambarkan di atas, birokrasi publik harus dapat memberikan layanan publik yang lebih profesional, efektif, sederhana, transparan, terbuka, tepat waktu, responsif dan adaptif serta sekaligus dapat membangun kualitas manusia dalam arti meningkatkan kapasitas individu dan masyarakat untuk secara aktif menentukan masa depannya sendiri (Effendi dalam Widodo, 2001). Arah pembangunan kualitas manusia tadi adalah memberdayakan kapasitas manusia dalam arti menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya untuk mengatur dan menentukan masa depannya sendiri.
Selain itu, dalam kondisi masyarakat yang semakin kritis di atas, birokrasi publik dituntut harus dapat mengubah posisi dan peran (revitalisasi) dalam memberikan pelayanan publik. Dari yang suka mengatur dan memerintah berubah menjadi suka melayanai, dari yang suka menggunakan pendekatan kekuasaan, berubah menjadi suka menolong menuju ke arah yang fleksibel kolaboratis dan dialogis dan dari cara-cara yang sloganis menuju cara-cara kerja yang realistis pragmatis (Thoha dalam Widodo, 2001). Dengan revitalitas birokrasi publik (terutama aparatur pemerintah daerah) ini, pelayanan publik yang lebih baik dan profesional dalam menjalankan apa yang menjadi tugas dan kewenagan yang diberikan kepadanya dapat terwujud.
Secara teoritis sedikitnya ada tiga fungsi utama yang harus dijalankan oleh pemerintah tanpa memandang tingkatannya, yaitu fungsi pelayan masyarakat (publik service function), fungsi pembangunan (development function) dan fungsi perlindungan (protection function).
Hal yang terpenting kemudian adalah sejauh mana pemerintah dapat mengelola fungsi-fungsi tersebut agar dapat menghasilkan barang dan jasa (pelayanan) yang ekonomis, efektif, efisien dan akuntabel kepada seluruh masyarakat yang membutuhkannya. Selain itu, pemerintah dituntut untuk menerapkan prinsip equity dalam menjalankan fungsi-fungsi tadi. Artinya pelayanan pemerintah tidak boleh diberikan secara diskriminatif. Pelayanan diberikan tanpa memandang status, pangkat, golongan dari masyarakat dan semua warga masyarakat mempunyai hak yang sama atas pelayanan-pelayanan tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Pemberian pelayanan publik oleh aparatur pemerintah kepada masyarakat sebenarnya merupakan implikasi dari fungsi aparat negara sebagai pelayan masyarakat. Karena itu, kedudukan aparatur pemerintah dalam pelayanan umum (publik services) sangat strategis karena akan sangat menentukan sejauhmana pemerintah mampu memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya bagi masyarakat, yang dengan demikian akan menentukan sejauhmana negara telah menjalankan perannya dengan baik sesuai dengan tujuan pendiriannya.
Dipandang dari sudut ekonomi, pelayanan merupakan salah satu alat pemuas kebutuhan manusia sebagaimana halnya dengan barang. Namun pelayanan memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dari barang. Salah satu yang membedakannya dengan barang, sebagaimana dikemukakan oleh Gasperz (1994), adalah outputnya yang tidak berbentuk (intangible output), tidak standar, serta tidak dapat disimpan dalam inventori melainkan langsung dapat dikonsumsi pada saat produksi.
Karakteristik pelayanan sebagaimana yang dikemukakan Gasperz tadi secara jelas membedakan pelayanan dengan barang, meskipun sebenarnya kaduanya merupakan alat pemuas kebutuhan. Sebagai suatu produk yang intangible, pelayanan memiliki dimensi yang berbeda dengan barang yang bersifat tangible. Produk akhir pelayanan tidak memiliki karakteristik fisik sebagaimana yang dimiliki oleh barang. Produk akhir pelayanan sangat tergantung dari proses interaksi yang terjadi antara layanan dengan konsumen.
Dalam konteks pelayanan publik, dikemukakan bahwa pelayanan umum adalah mendahulukan kepentingan umum, mempermudah urusan publik, mempersingkat waktu pelaksanaan urusan publik dan memberikan kepuasan kepada publik (publik/umum). Senada dengan itu, Moenir (1992) mengemukakan bahwa pelayanan publik adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan landasan faktor material melalui sistem, prosedur dan metode tertentu dalam usaha memenuhi kepentingan orang lain sesuai dengan haknya.
Berangkat dari persoalan mempertanyakan kepuasan masyarakat terhadap apa yang diberikan oleh pelayan dalam hal ini yaitu administrasi publik adalah pemerintah itu sendiri dengan apa yang mereka inginkan, maksudnya yaitu sejauhmana publik berharap apa yang akhirnya diterima mereka. Penyelenggaraan pelayanan publik yang dilaksanakan oleh aparatur pemerintah dalam berbagai sektor pelayanan terutama yang menyangkut pemenuhan kebutuhan hak-hak sipil dan kebutuhan dasar masih dirasakan belum sesuai dengan tuntutan dan harapan masyarakat. Hal ini bisa diketahui antara lain dari banyaknya pengaduan, keluhan yang disampaikan oleh masyarakat melalui media masa maupun langsung kepada unit pelayanan, baik menyangkut system dan prosedur pelayanan yang masih berbelit-belit, tidak transparan, kurang informatif, kurang akomodatif dan kurang dan kurang konsisten sehingga tidak menjamin kepastian (hukum, waktu dan biaya) serta masih adanya praktek pungutan tidak resmi. Sejalan dengan meningkatnya kesadaran berbangsa, bernegara dan bermasyarakat serta adanya tuntutan reformasi penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan, pemenuhan untuk mendapatkan pelayanan yang baik merupakan hak masyarakat dan sebaliknya bagi aparatur berkewajiban memberikan pelayanan dan pengayoman kepada masyarakat.
Demi untuk menjamin terpenuhinya hak-hak masyarakat akan pelayanan publik maka diperlukan suatu standar penilaian merngenai analisis kinerja pelayanan publik yang telah dijalankan. Analisis terhadap kinerja birokrasi publik menjadi sangat penting atau dengan kata lain memiliki nilai yang amat strategis. Informasi mengenai kinerja aparatur dan faktor-faktor yang ikut berpengaruh terhadap kinerja aparatur sangat penting untuk diketahui, sehingga pengukuran kinerja aparat hendaknya dapat diterjemahkan sebagai suatu kegiatan evaluasi untuk menilai atau melihat keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan tugas dan fungsi yang dibebankan kepadanya. Oleh karena itu evaluasi kinerja merupakan analisis interpretasi keberhasilan dan kegagalan pencapaian kinerja.
Menurut pendapat Drucker dalam buku “Reinventing Government” karya David Osborne, bahwa dalam suatu organisasi perlu adanya pemisahan antara manajemen puncak dan operasional, sehingga memungkinkan manajemen puncak menfokuskan konsentrasi pada pengambilan keputusan dan pengarahan. Sedangkan kegiatan operasional sebaiknya dijalankan oleh staf sendiri, dimana masing-masing memiliki misi, sasaran, ruang lingkup, tindakan serta otonominya sendiri. Upaya mengarahkan, membutuhkan orang yang mampu melihat seluruh visi dan peluang serta mampu menyeimbangkan antar berbagai tuntutan yang saling bersaing untuk mendapatkan sumber daya. Hal tersebut membutuhkan personil yang bersungguh-sungguh fokus pada visi, misi dan melaksanakannya dengan baik.
Pemberian pelayanan publik oleh aparatur pemerintah kepada masyarakat (publik) merupakan perwujudan dan fungsi aparatur negara sebagai pelayan masyarakat (abdi), disamping sebagai abdi negara. Dalam konteks ini masyarakatlah sebagai aktor utama (pelaku) pembangunan, sedangkan pemerintah berkewajiban untuk mengarahkan, membimbing serta menciptakan suasana yang menunjang kegiatan-kegiatan dari masyarakat tersebut. Pada kondisi ini aparatur negara dituntut untuk lebih mampu memperbaiki kinerjanya (pelayanan prima) dan diharapkan lebih mampu merumuskan konsep atau menciptakan iklim yang kondusif, sehingga sumber daya pembangunan dapat menjadi pendorong percepatan terwujudnya masyarakat yang mandiri dan sejahtera.
Kemudian bagaimana kegiatan masyarakat dan kegiatan pemerintah itu dapat terjadi sinkronisasi yaitu saling bersentuhan, menunjang dan melengkapi dalam satu kesatuan langkah menuju tercapainya tujuan pembangunan nasional. Suasana tersebut dapat diciptakan jika aparatur negara memiliki semangat pengabdian yang tinggi dan profesional dalam pemberian layanan publik. Pada sisi lain perkembangan dan perubahan yang diakibatkan oleh globalisasi yang mempengaruhi seluruh aspek kehidupan seperti disektor ekonomi, investasi, barang dan jasa, menjadikan para pelaku birokrasi (aparatur) semakin ditantang dan dituntut untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanannya kepada masyarakat. Pada tataran inilah, kinerja birokrasi pelayanan publik menjadi suatu isu yang semakin strategis karena perbaikan kinerja birokrasi memiliki implikasi yang luas dalam kehidupan masyarakat, terutama dalam memperbaiki tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Buruknya kinerja birokrasi selama ini menjadi salah satu faktor penting yang mendorong munculnya krisis kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.
Buruknya kinerja pelayanan publik ini antara lain dikarenakan belum dilaksanakannya transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Oleh karena itu pelayanan publik harus dilaksanakan secara transparan dan akuntabel oleh setiap unit pelayanan instansi pemerintah karena kualitas kinerja birokrasi pelayanan publik memiliki implikasi yang luas dalam mencapai kesejahertaan masyarakat. Mengingat jenis pelayanan sangat beragam dengan sifat dan karakterisitik yang berbeda, maka dalam memenuhi pelayanan diperlukan pedoman yang digunakan sebagai acuan bagi instansi dilingkungan instansi kesehatan.
Puskesmas Weleri 02 yang berada di wilayah Kecamatan Weleri merupakan penyedia jasa pelayanan kesehatan dengan wilayah kerja meliputi 6 (enam) desa yaitu Penaruban, Sambongsari, Pucuksari, Payung, Karanganom, Karangdowo.
Mengingat kesehatan merupakan aspek penting dalam kehidupan masyarakat, maka pemerintah harus menciptakan suatu pembangunan kesehatan yang memadai sebagai upaya perbaikan terhadap buruknya tingkat kesehatan selama ini. Sebagaimana yang tercantum menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan disebutkan bahwa kesehatan merupakan salah satu unsur kesejahteraan umum, sehingga pemerintah harus melaksanakan pembangunan kesehatan yang diarahkan untuk mempertinggi derajat kesehatan dengan mengupayakan pelayanan kesehatan yang lebih memadai secara menyeluruh dan terpadu.
Dengan melihat data statistik memang menunjukkan peningkatan kinerja yang bagus bagi Puskesmas Weleri 02 hal ini dilihat dari peningkatan jumlah mengunjung dari tahun ke tahun, namun bila dilihat dari keluhan-keluhan para pasien mengenai kekurangan akan pelayanan serta sarana dan prasarana yang terjadi di Puskesmas Weleri 02, maka dapat dikatakan terdapat masalah dalam pelayanan yang diberikan kepada masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas maka dalam penelitian ini diambil judul ”Analisis Kepuasan Masyarakat Terhadap Pelayanan Publik di Pukesmas Weleri 02 Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal”.
B.    Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1.    Bagaimana kualitas pelayanan yang diberikan Puskesmas Weleri 02 kepada masyarakat?
2.    Sejauh mana tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan di Puskesmas Weleri 02?
3.    Bagaimanakah tingkat kesesuaian antara kinerja pelayanan dengan harapan atau kepentingan masyarakat pengguna jasa layanan di Puskesmas Weleri 02?
C.    Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1.    Menganalisis kualitas pelayanan yang diberikan Puskesmas Weleri 02 kepada publik / masyarakat.
2.    Mengetahui dan menganalisis sejauh mana tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan yang diberikan oleh Puskesmas Weleri 02.
3.    Mengetahui kesesuaian antara kinerja pelayanan puskesmas dengan harapan atau tingkat kepentingan masyarakat penggunan jasa pelayanan Puskesmas Weleri 02.
D.    Manfaat Penelitian
1.    Diketahui kinerja pelayanan instansi pemerintah, khususnya Puskesmas Weleri 02 sehingga dapat diketahui kekurangan dan kelebihan kinerja pelayanan publik bidang kesehatan.
2.    Diketahuinya faktor-faktor atau dimensi-dimensi yang merupakan kekurangan dari pelayanan publik tersebut. Hal ini diharapakan bisa dijadikan bahan masukan ke depan bagi instansi pemerintah agar dapat lebih meningkatkan kinerja pelayanannya kepada publik/masyarakat.
3.    Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberi kontribusi bagi kajian di bidang administrasi publik, khususnya pelayanan kepada publik. Selanjutnya penelitian ini dapat dijadikan dasar bagi penelitian selanjutnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    Kepuasan Masyarakat
Kepuasan masyarakat merupakan faktor yang sangat penting dan menentukan keberhasilan suatu badan usaha karena masyarakat adalah konsumen dari produk yang dihasilkannya. Hal ini didukung oleh pernyataan Hoffman dan Beteson (1997, p.270), yaitu : ”weithout custumers, the service firm has no reason to exist”. Definisi kepuasan masyarakat menurut Mowen (1995, p.511): ”Costumers satisfaction is defined as the overall attitudes regarding goods or services after its acquisition and uses”. Oleh karena itu, badan usaha harus dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan masyarakat sehingga mencapai kepuasan masyarakat dan lebih jauh lagi kedepannya dapat dicapai kesetiaan masyarakat. Sebab, bila tidak dapat memenuhi kebutuhan dan kepuasan masyarakat sehingga menyebabkan ketidakpuasan masyarakat mengakibatkan kesetiaan masyarakat akan suatu produk menjadi luntur dan beralih ke produk atau layanan yang disediakan oleh badan usaha yang lain.
Menurut Mendelsohn (1998, p.42) ada 2 keuntungan bagi badan usaha dengan adanya kepuasan masyarakat, yaitu:
”First, retaining customers is less expensive than acquiring new ones. Second, increasing competition in the form of product, organizations, and distributing outlets means fierce pressure for costumers. And costumners satisfaction is viable strategy to maintain market share against the competitions”.
Untuk mengukur kepuasan masyarakat digunakan atribut yang berisi tentang bagaimana masyarakat menilai suatu produk atau layanan yang ditinjau dari sudut pandang pelanggan. Menurut Dulka (1994, p.41), kepuasan masyarakat dapat diukur melalui atribut-atribut pembentuk kepuasan yang terdiri atas:
1.    Value to price relationship. Hubungan antara harga yang ditetapkan oleh badan usaha untuk dibayar dengan nilai/manfaat yang diperoleh masyarakat.
2.    Product value adalah penilaian dari kualitas produk atau layanan yang dihasilkan suatu badan usaha.
3.    Product benefit adalah manfaat yang diperoleh masyarakat dari mengkosumsi produk yang dihasilkan oleh badan usaha.
4.    Product feature adalah ciri-ciri atau karakteristik tertentu yang mendukung fungsi dasar dari suatu produk sehingga berbeda dengan produk yang ditawarkan pesaing.
5.    Product design adalah proses untuk merancang tampilan dan fungsi produk.
6.    Product reliability and consistency adalah kekakuratan dan keandalan produk yang dihasilkan oleh suatu badan usaha.
7.    Range of product ar services adalah macam dari produk atau layanan yang ditawarkan oleh suatu badan usaha.
Kemudian attribute related to service meliputi :
1.    Guarantee or waranty adalah jaminan atau garansi yang diberikan oleh badan usaha dan diharapkan dapat memuaskan masyarakat.
2.    Delivery communication adalah pesan atau informasi yang disampaikan oleh badan usaha kepada masyarakatnya.
3.    Complain handling adalah sikap badan usaha dalam menangani keluhankeluhan atau pengaduan.
4.    Resolution of problem adalah tanggapan yang diberkan badan usaha dalam membantu memecahkan masalah masyarakat yang berkaitan dengan layanan yang diterimanya.
Selanjutnya attributes related to the purchase meliput:
1.    Courtesy adalah kesopanan, perhatian dan keramahan pegawai
2.    Communication adalah kemampuan pegawai dalam melakukan komunikasi dengan masyarakat pelanggan.
3.    Ease or convinience of acquisition adalah kemudahan yang diberikan oleh badan usaha untuk mendapatkan produk atau layanan yang ditawarkan.
4.    Company reputation adalah baik tidaknya reputasi yang dimiliki oleh badan usaha dalam melayani masyarakat.
5.    Company competence adalah baik tidaknya kemampuan badan usaha dalam melayani masyarakat
B.    Pelayanan Publik
Pelayanan publik dapat diartikan sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan.
Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu bahwa pemerintahan pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Ia tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyaraakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai tujuan bersama (Rasyid, 1998). Karenanya birokrasi publik berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan layanan baik dan profesional.
Pelayanan publik (publik services) oleh birokrasi publik tadi adalah merupakan salah satu perwujudan dari fungsi aparatur negara sebagai abdi masyarakat di samping sebagai abdi negara. Pelayanan publik (publik services) oleh birokrasi publik dimaksudkan untuk mensejahterakan masyarakat (warga negara) dari suatu negara kesejahteraan (welfare state). Pelayanan umum oleh Lembaga Administrasi Negara (1998) diartikan sebagai segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di Pusat, di Daerah dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara/Daerah dalam bentuk barang dan atau jasa baik dalam rangka upaya kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pelayanan publik dengan demikian dapat diartikan sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan.
Pelayanan publik yang profesional, artinya pelayanan publik yang dicirikan oleh adanya akuntabilitas dan responsibilitas dari pemberi layanan (aparatur pemerintah). Dengan ciri sebagai berikut :
1.    Efektif, lebih mengutamakan pada pencapaian apa yang menjadi tujuan dan sasaran;
2.    Sederhana, mengandung arti prosedur/tata cara pelayanan diselenggarakan secara mudah, cepat, tepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat yang meminta pelayanan;
3.    Kejelasan dan kepastian (transparan), mengandung akan arti adanya kejelasan dan kepastian mengenai :
a.    Prosedur/tata cara pelayanan;
b.    Persyaratan pelayanan, baik persyaratan teknis maupun persyaratan administratif;
c.    Unit kerja dan atau pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan;
d.    Rincian biaya/tarif pelayanan dan tata cara pembayarannya;
e.    Jadwal waktu penyelesaian pelayanan.
4.    Keterbukaan, mengandung arti prosedur/tata cara persyaratan, satuan kerja/pejabat penanggungjawab pemberi pelayanan, waktu penyelesaian, rincian waktu/tarif serta hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta;
5.    Efisiensi, mengandung arti :
a.    Persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan yang berkaitan;
b.    Dicegah adanya pengulangan pemenuhan persyaratan, dalam hal proses pelayanan masyarakat yang bersangkutan mempersyaratkan adanya kelengkapan persyaratan dari satuan kerja/instansi pemerintah lain yang terkait.
6.    Ketepatan waktu, kriteria ini mengandung arti pelaksanaan pelayanan masyarakat dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan;
7.    Responsif, lebih mengarah pada daya tanggap dan cepat menanggapi apa yang menjadi masalah, kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang dilayani;
8.    Adaptif, cepat menyesuaikan terhadap apa yang menjadi tuntutan, keinginan dan aspirasi masyarakat yang dilayani yang senantiasa mengalami tumbuh kembang.
Secara teoritis sedikitnya ada tiga fungsi utama yang harus dijalankan oleh pemerintah tanpa memandang tingkatannya, yaitu fungsi pelayan masyarakat (publik service function), fungsi pembangunan (development function) dan fungsi perlindungan (protection function). Hal yang terpenting kemudian adalah sejauh mana pemerintah dapat mengelola fungsi-fungsi tersebut agar dapat menghasilkan barang dan jasa (pelayanan) yang ekonomis, efektif, efisien dan akuntabel kepada seluruh masyarakat yang membutuhkannya. Selain itu, pemerintah dituntut untuk menerapkan prinsip equity dalam menjalankan fungsi-fungsi tadi. Artinya pelayanan pemerintah tidak boleh diberikan secara diskriminatif. Pelayanan diberikan tanpa memandang status, pangkat, golongan dari masyarakat dan semua warga masyarakat mempunyai hak yang sama atas pelayanan-pelayanan tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Meskipun pemerintah mempunyai fungsi-fungsi sebagaimana di atas, namun tidak berarti bahwa pemerintah harus berperan sebagai monopolist dalam pelaksanaan seluruh fungsi-fungsi tadi. Beberapa bagian dari fungsi tadi bisa menjadi bidang tugas yang pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada pihak swasta ataupun dengan menggunakan pola kemitraan (partnership), antara pemerintah dengan swasta untuk mengadakannya. Pola kerjasama antara pemerintah dengan swasta dalam memberikan berbagai pelayanan kepada masyarakat tersebut sejalan dengan gagasan reinventing government yang dikembangkan Osborne dan Gaebler (1992).
Namun dalam kaitannya dengan sifat barang privat dan barang publik murni, maka pemerintah adalah satu-satunya pihak yang berkewajiban menyediakan barang publik murni, khususnya barang publik yang bernama rules atau aturan (kebijakan publik). Barang publik murni yang berupa aturan tersebut tidak pernah dan tidak boleh diserahkan penyediaannya kepada swasta. Karena bila hal itu dilakukan maka di dalam aturan tersebut akan melekat kepentingan-kepentingan swasta yang membuat aturan, sehingga aturan menjadi penuh dengan vested interest dan menjadi tidak adil (unfair rule). Karena itu peran pemerintah yang akan tetap melekat di sepanjang keberadaannya adalah sebagai penyedia barang publik murni yang bernama aturan.
Pemberian pelayanan publik oleh aparatur pemerintah kepada masyarakat sebenarnya merupakan implikasi dari fungsi aparat negara sebagai pelayan masyarakat. Karena itu, kedudukan aparatur pemerintah dalam pelayanan umum (publik services) sangat strategis karena akan sangat menentukan sejauhmana pemerintah mampu memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya bagi masyarakat, yang dengan demikian akan menentukan sejauhmana negara telah menjalankan perannya dengan baik sesuai dengan tujuan pendiriannya.
Berangkat dari persoalan mempertanyakan kepuasan masyarakat terhadap apa yang diberikan oleh pelayan dalam hal ini yaitu administrasi publik adalah pemerintah itu sendiri dengan apa yang mereka inginkan, maksudnya yaitu sejauhmana publik berharap apa yang akhirnya diterima mereka.
Dengan demikian dilakukan penilaian tentang sama tidaknya antara harapan dengan kenyataan, apabila tidak sama maka pemerintah diharapkan dapat mengoreksi keadaan agar lebih teliti untuk peningkatan kualitas pelayanan publik. Selanjutnya dipertanyakan apakah terhadap kehendak masyarakat, seperti ketentuan biaya yang tepat, waktu yang diperhitungkan dan mutu yang dituntut masyarakat telah dapat terpenuhi. Andaikata tidak terpenuhi, pemerintah diharapkan mengkoreksi keadaan, sedangkan apabila terpenuhi dilanjutkan pada pertanyaan berikutnya, tentang berbagai informasi yang diterima masyarakat berkenaan dengan situasi dan kondisi, serta aturan yang melengkapinya.
Penilaian terhadap kualitas pelayanan tidak dapat lepas dari kemampuan pegawai dalam pemberian pelayanan serta penyediaan fasilitas fisik. Hal ini sesuai dengan teori “The triangle of balance in service quality: dari Morgan dan Murgatroyd, bahwa perlu dipertahankan keseimbangan dari ketiga komponen (interpersonal component, procedures environment/process component, and technical/professional component) guna menghasilkan pelayanan yang berkualitas. Memang pada dasarnya ada 3 (tiga) ketentuan pokok dalam melihat tinggi rendahnya suatu kualitas pelayanan publik, yaitu sebagaimana dalam gambar 2.1 tersebut menjelaskan bahwa dalam melihat tinggi rendahnya kualitas pelayanan publik perlu diperhatikan adanya keseimbangan antara:
1.    Bagian antar pribadi yang melaksanakan (Inter Personal Component);
2.    Bagian proses dan lingkungan yang mempengaruhi (Process and Environment);
3.    Bagian profesional dan teknik yang dipergunakan (Professional and Technical).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar