Jumat, 03 Februari 2012

PEMAHAMAN TENTANG ASLAMA, MUHSIN DAN HANIFAN DALAM SURAT AN-NISA AYAT 125


PEMAHAMAN TENTANG ASLAMA, MUHSIN DAN HANIFAN DALAM SURAT AN-NISA AYAT 125

Agama Islam berasal dari Allah. Memahami Islam secara benar akan mengantarkan umatnya untuk mengamalkannya secara benar pula. Sekarang ini problematika umat yang mendasar yaitu ketidak fahaman terhadap Al Islam sebagaimana yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu memahami “Dinnul Islam” adala suatu keharusan bagi umat Islam.
Pertama untuk memahami Islam secara benar adalah memahami makna kata ISLAM secara lughowi (bahasa). Al Islam berasal dari akar kata salima, mengandung huruf-huruf :sin, mim dan lam. Dari ketiga huruf tersebut akan menurunkan kata-kata jadian yang kesemuanya memiliki titik temu (al istiqo al kabir). Dari kata salama muncul:

Aslama
            Artinya adalah menundukan atau menghadapkan wajah. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam surat An Nisa ayat 125:
ô

 Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan dia mengikuti agam ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya”.
            Allah ingin memberikan pemahaman bahwa orang yang terbaik dalam ketundukannya kepada Allah yaiyu orang yang menundukan wajahnya dan berarti seluruh jiwa dan raganya merupakan cerminan dari ketundukan kepada Allah. Rahasia kata wajah dalam al qur’an ialah:
  1. dari segi bahasa wajh (muka) adalah anggota tubuh yang paling mulia.
  2. Kata wajh ada hubungannya dengan kata iftijah (arah / orientasi), artinya seorang muslim orientasinya hanya kepada Allah.

Muhsin
Artinya kegemaran pada amal shaleh, Rausanfikr (muslim tercerahkan) harus tercipta dalam diri kita masingmasing. Kita tidak boleh masa bodoh atau tidak peduli (cuek) dengan persoalan di sekitar kita. Kepedulian pada persoalan ummat akan mendorong kita menuju sebuah keshalehan sosial yang sangat ditekankan oleh Islam. Islam tidak saja mengajarkan keshalehan individu (taat pada perintah ibadah mahdhah). Allah berfirman dalam surat an-Nisa’ [4] ayat 125:
Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya.
Hanif
Kata hanif berasal dari kata kerja hanafa, yahnifu dan masdarnya hanifan, artinya adalah “condong”, atau “cenderung” dan kata bendanya “kecenderungan”. Dalam al-Qur’an, kata hanif yang dimaksud adalah “cenderung kepada yang benar”, seperti dijelaskan oleh mufassir modern, Maulana Muhammad Ali dalam The Holy Qur’an, yang merujuk kepada kamus al-Qur’an al-Mufradat fi al-gharib karya al-Raghib al-Isfahani. Secara lengkap pengertian hanif disampaikan oleh Nashir Ahmad sebagai berikut:
Ø  Orang yang meninggalkan atau menjahui kesalahan dan mengarahkan dirinya kepada petunjuk.
Ø  Orang yang secara terus menerus mengikuti kepercayaan yang benar tanpa keinginan untuk berpaling dari padanya
Ø  Orang yang cenderung menata perilakunya secara sempurna menurut Islam dan terus menerus mempertahankannya secara teguh
Ø  Seseorang yang mengikuti agama Ibrahim, dan
Ø  Yang percaya kepada seluruh nabi-nabi.
Baik Muhammad Ali maupun Nashir Ahmad, keterangan tentang hanif tersebut, merujuk kepada al-Qur’an, surat al-Baqarah ayat 135:





Dan mereka berkata: “Hendaklah kamu menjadi penganut agama Yahudi atau Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk”. Katakanlah : “Tidak, melainkan (Kami mengikuti) agama Ibrahim yang lurus. dan bukanlah dia (Ibrahim) dari golongan orang musyrik”.

Dari ayat itu pula diketahui bahwa lawan dari hanif adalah syirik (politheis), yakni sebuah paham yang mempersekutukan Allah dengan lainnya. Islam tidak mengajarkan politheisme (syirik) tetapi sebaliknya yang ditekankan dalam ajaran Islam adalah monotheisme (tauhid) yaitu menolak segala pengakuan dan keyakinan mausia atas tuhan-tuhan palsu. Jika pada zaman Jâhiliyyah, tuhan-tuhan palsu itu dimanifestasikan dalam wujud berhala-berhala, maka pada zaman modern ini, tuhan-tuhan palsu terwujud dalam banyak aspek dan bidang yang lebih luas dan komplek dari sekadar berhala-berhala sesembahan. Tuhan-tuhan itu lebih berbentuk kedhaliman dan penindasan, atau kesenangan dunia yang ketika meraihnya harus merampas hak-hak orang lain

Tidak ada komentar:

Posting Komentar