Jumat, 03 Februari 2012

Islam dengan tauhid


Pendahuluan
Islam, dengan tauhid sebagai elemen dasar, adalah inti ajaran yang diwahyukan Allah kepada seluruh nabi-Nya. Untuk menjelaskannya, diturunkanlah pedoman pelaksanaannya, buat Nabi Muhammad SAW dan umatnya diturunkanlah al-Qur’an.
Sebagai sebuah kitab suci yang jadi pedoman dalam segala hal dan untuk segala zaman, al-Qur’an tidak mengajari dan menjelaskan segala persoalan secara rinci dan mendetail. Ia hanya memberikan pedoman atau petunjuk umum. Selanjutnya tugas manusialah untuk memahaminya agar bisa dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari dan mengatasi segala persoalan yang mereka hadapi.
Selama Nabi Muhammad SAW masih hidup, semua persoalan yang berkaitan dengan kehidupan yang secara rinci tidak diatur dalam al-Qur’an, dapat langsung ditanyakan kepada beliau. Dengan kata lain, beliaulah yang memegang wewenang utama dalam memahami dan menjabarkan al-Qur’an. Selama ada penjelasan (sunnah) beliau, umat Islam tidak bisa membantahnya dan tidak dibenarkan berbuat lain. Dalam beberapa masalah, terkadang beliau menyelesaikannya dengan cara (yang disebut sekarang) qiyas.
Setelah beliau meninggal dunia, umat Islam masih memiliki para sahabat beliau yang sangat paham dengan al-Qur’an dan banyak mengetahui dan menyertai kehidupan beliau. Sehingga dalam banyak hal, persoalan yang dihadapi umat Islam bisa diatasi, tanpa menimbulkan masalah yang terlalu mendasar.
Namun bukan berarti seluruh hal yang muncul setelah meninggalnya beliau itu bisa terselesaikan dengan hanya melaksanakan tanpa penyesuaian dan penjabaran pedoman yang ada. Untuk itu, para sahabat harus menggunakan pemahamannya terhadap perbendaharaan utama Islam itu untuk menyelesaikan persoalan tersebut, dengan tetap memelihara tujuan utama risalah Islam. Hal itu terkadang, sepintas lalu, seperti bertentangan dengan petunjuk zahir nash (al-Qur’an dan Sunnah). Tapi sesungguhnya tidak ada pertentangan yang fundamental di dalamnya. Hampir semua sahabat mampu melakukan ijtihad, tapi yang paling menonjo di antara mereka adalah Umar bin Khaththab, Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Mas’ud (Ibn Mas’ud).
Ketika periode sahabat telah habis, para tabi’in dan umat Islam sudah mulai menghadapi berbagai persoalan. Seiring dengan semakin jauhnya jarak mereka dengan masa Rasul dan sahabat, maka pemahaman terhadap kedua sumber ajaran Islam itu juga semakin tidak setara dengan para pendahulunya. Ketika itu mereka harus mengumpulkan berbagai riwayat dan pemahaman terhadap kedua sumber itu dari para pendahulu (guru) mereka yang masih tersisa. Kemudian terhadap berbagai riwayat itu, yang terkadang saling bertentangan, mereka harus memaksimalkan daya pikir mereka agar tetap bisa memelihara tujuan diturunkannya Islam dan agar Islam itu sendiri tetap bisa diaplikasikan dalam kehidupan. Ketika itulah mereka harus menyusun sebuah kerangka acuan dalam melakukan pemahaman dan penarikan hukum dari sumber yang ada. Mujtahid di masa tabi’in yang menonjol adalah Sa’id bin Musayyab (15-94 H) di Madinah, Alqamah bin Waqqas al-Lais dan Ibrahim an-Nakha`i di Irak, dan al-Hasan al-Basri (624-728 M) di Basrah
Kerangka acuan tersebut, yang hakikatnya telah ada semenjak masa Rasul, di setiap generasinya disempurnakan dan terus dikembangkan. Hasil berbagai penyempur-naan dan pengembangan itulah sekarang yang disebut dengan ilmu Ushul Fiqh, yang dengannya dapat dilakukan penggalian (istinbath) hukum dengan semaksimal mungkin mendekati kebenaran yang dikehendaki oleh Syari’ (pembuat hukum).
Pengertian Ushul Fiqh
Dalam dunia keilmuan, sebelum memanfaatkan sesuatu, terlebih dahulu harus diketahui apa bendanya, apa fungsi, tujuan, faidah dan hal lain yang berkaitan dengan barang. Hal itu tidak ubahnya dengan sebuah alat pemotong (misalkan pisau), terlebih harus diketahui apa alat pemotong yang akan digunakan, apa-apa saja fungsinya, apa tujuan yang mungkin diperoleh darinya dan lain-lain manfaat yang mungkin bisa diperoleh dari alat tersebut. Tanpa pengetahuan seperti itu, dikhawatirkan si pengguna alat tersebut, sama halnya dengan memberikan pisau kepada anak kecil.
Untuk itu, sebelum menggunakan Ushul fiqh, lsngkah bijaksana yang harus diambil terlebih dahulu adalah mengetahui hakikat Ushul Fiqh itu sendiri, dan hal itu dapat diperoleh dengan mengkaji pengertiannya, baik secara bahasa maupun secara istilah, dan melakukan perbandingan dari beberapa pengertian yang pernah dikemukakan para ulama. Hal itu dimaksudkan untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendasar terhadap pokok persoalan yang dibahas.
“Ushul Fiqh” merupakan sebuah frase yang terdiri dari dua kata, yaitu “ushul” dan “fiqh”. Untuk memahaminya secara sempurna, akan dikemukakan pengertian masing-masingnya. Terlebih dahulu akan dikemukakan pengertian secara bahasa. Kata “ushul” adalah bentuk jamak dari kata “ashl”, yang secara bahasa (etimologi) berarti:

ما بني عليه غيره
Sesuatu yang didirikan di atasnya sesuatu yang lain.
Maksudnya ashl merupakan sesuatu yang menjadi dasar bagi yang lain, seperti fondasi dari sebuah rumah. Kalau yang jadi fondasi disebut ashl, maka bangunan yang didirikan di atas fondasi itu disebut dengan “far’un” (furu’). Furu’ itu sendiri berarti:
ما بني على غيره
Sesuatu yang didirikan di atas yang lain.
Dengan kata lain, furu’ tidak bisa berdiri dengan sendirinya. Agar ia ada dan dapat bertahan dengan baik, ia membutuhkan sesuatu yang lain sebagai landasannya, sama seperti batang dan cabang pohon yang membutuhkan pada pokok (pangkal)-nya. Demikian juga dengan fiqh yang tidak bisa muncul, bertahan dan berkembang kalau tidak ada ashl-nya, yaitu ushul fiqh.
Kalau begitu, apa yang disebut dengan fiqh? Secara bahasa fiqh berarti
الفهم مطلقا. قال الشيخ أبو إسحاق فهم الأشياء الخفية.
Pemahaman (secara mutlak). Menurut Syekh Abu Ishak (fiqh adalah) memahami sesuatu yang tersembunyi (abstrak).
Berbeda dengan melihat, memahami merupakan pekerjaan batin dan yang menjadi objeknyapun adalah sesuatu yang abstrak (tidak bisa dilihat). Oleh karena itu dalam penggunaan sehari-haripun akan terjadi perbedaan. Biasanya orang akan mengatakan “Saya memahami maksud perkataanmu”. Tapi orang tidak akan mengatakan “Saya memahami langit dan bumi” (kecuali kalau dikatakan “saya memahami proses penciptaan langit dan bumi”).

Dengan demikian, secara bahasa ushul fiqh berarti sesuatu yang didasarkan padanya pemahaman. Dengan bahasa lain dapat dikemukakan bahwa ushul fiqh adalah suatu ilmu yang menjadi fondasi bagi pemahaman.
Secara istilah (terminologi), kata ushul memiliki arti yang beragam. Hal itu disebabkan penggunaannya yang beragam dalam ungkapan bahasa Arab. Di antara pengertiannya tersebut adalah:
1.      Kaidah Kulliyah (القاعدة كلية)
Kaidah kulliyah merupakan ketentuan umum yang berlaku terhadap satu persoalan, seperti ketentuan yang mengatakan bahwa “Setiap mayat haram”. Hal itu didasarkan pada firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 172:
إنما حرم عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير وما أهل به لغير الله
Sesungguhnya Allah mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah….
Berdasarkan ayat itu disimpulkan bahwa semua bangkai haram dimakan. Hanya saja dalam sambungan ayat itu terdapat pengecualian terhadap kaidah itu, yaitu pembolehan memakan bangkai (termasuk benda lain yang diharamkan) bagi ornag yang dalam keadaan terpaksa. Lanjutan ayat itu berbunyi:
فمن اضطر غير باغ ولا عاد فلا إثم عليه
… Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Untuk keadaan yang terakhir ini, para fuqaha mengungkapkan:
إباحة الميتة للمضطر خلاف الأصل
Pembolehan bangkai bagi orang terpaksa adalah menyalahi ashl.
Maksud ungkapan fuqaha` adalah: pembolehan memakan bangkai bagi orang yang dalam keadaan terpaksa merupakan suatu pengecualian yang menyalahi atau berbeda dengan kaidah kulliyah. Di mana kaidah kulliyah menghendaki dan menetapkan bahwa semua bangkai itu haram.
2.      Yang lebih kuat (الراجح)
Rajih maksudnya adalah sesuatu yang lebih kuat dibanding yang lainnya. Untuk hal ini dapat dicontohkan seperti ketika seseorang berbicara tentang kursi, maka pemahaman yang paling mudah dan paling kuat yang segera akan muncul dalam pikiran pendengarnya adalah “sesuatu yang menjadi tempat duduk”. Pada waktu itu tidak akan segera muncul dalam pikirannya bahwa kursi itu juga bisa berarti “jabatan” atau “kedudukan politik”. Makna yang disebutkan pertama disebut dengan makna hakiki, dan yang kedua dan ketiga disebut makna majazi. Berkaitan dengan hal ini muncullah sebuah kaidah yang berbunyi:
الأصل فى الكلام الحقيقة
Yang ashl dalam pembicaraan adalah (makna) hakiki.
Makna “ashl” yang dalam kaidah ini maksudnya adalah “yang paling kuat” (الراجح). Karena memang makna hakikilah yang paling segera dan paling kuat kemungkinan segera munculnya dalam pikiran pendengar suatu pembicaraan.

3. Yang dikukuhkan (المستصحب)
Ketika sesorang akan melakukan shalat (misalnya shalat Isya), lalu pada waktu itu muncul keraguan (شك) dalam dirinya “apakah wudhu`nya sudah batal (berhadas) atau belum”. Padahal dia yakin (يقين) sekali bahwa sebelumnya (untuk shalat Maghrib) ia telah berwudhu`. Maka pada waktu itu ia bisa meyakinkan dirinya bahwa ia masih suci (berwudhu`), karena yakin tidak bisa dikalahkan oleh keraguan, dan dikukuhkanlah sucinya. Berkaitan dengan ini muncul pula suatu kaidah, yang berbunyi:

الأصل بقاء ما كان على ما كان
Yang ashl adalah mengukuhkan yang telah ada atas yang terjadi setelahnya.
Makna ashl dalam kaidah itu adalah yang dikukuhkan (المستصحب). Dengan demikian dikukuhkanlah suci (yang sudah terjadi sebelum) munculnya keraguan batalnya suci itu karena hadas.
3.      Tempat meng-qiyas-kan (المقيس عليه)
Dalam al-Qur’an dan Sunnah sudah disebutkan hukum beberapa persoalan secara rinci. Hingga dalam pelaksanaannya tidak terjadi persoalan. Tapi kenyataan yang dihadapi umat Islam yang beragam suku, ras, budaya, daerah dan sebagainya, masih sangat banyak hal lain yang tidak dijelaskan dengan rinci dalam kedua sumber itu.
Misalnya dalam al-Qur’an sudah disebutkan bahwa gandum (makanan pokok) wajib dizakatkan ketika panen dilakukan. Sementara gandum hanya hanya menjadi makanan pokok bagi sebagian kecil umat Islam, yang menghuni hampir seluruh permukaan bumi. Sangat banyak umat Islam lain yang makanan pokoknya bukan gandum, seperti padi (beras), jagung, sagu, ubi dan sebagainya, dan itu tidak disinggung sama sekali dalam al-Qur’an. Maka ulama menetapkan bahwa makanan pokok selain gandum itu tetap wajib dizakatkan.
Dalam kasus ini, yang disebut tempat meng-qiyas-kan (مقيس عليه) atau ashl (الأصل) adalah gandum; wajibnya zakat pada gandum yang ditetapkan berdasarkan Sunnah disebut hukum ashl (حكم الأصل); makanan pokok lainnya disebut yang di-qiyas-kan (مقيس) atau furu’ (فرع); kesamaannya sebagai “makanan pokok” disebut illat (علة). Untuk wajibnya zakat terhadap makanan pkok lainnya ini, seperti padi atau beras (الأرز), fuqaha mengatakan:

يجب الزكاة فى الأرز قياسا على الشعير
Wajib zakat pada padi di-qiyas-kan pada gandum.
Maksudnya, ditetapkan wajib zakat pada furu’ di-qiyas-kan pada hukum wajib yang sebelumnya telah ada pada ashl, yaitu tempat meng-qiyas-kan furu’.

5. Dalil (الدليل)
Dalam menyatakan sesuatu, seseorang harus siap menjawab pertanyaan yang muncul setelah itu. Pertanyaan yang paling mungkin muncul adalah “mengapa”. Misalnya seseorang mengatakan bahwa “shalat itu wajib”. Maka ia harus siap untuk menjawab pertanyaan “mengapa shalat itu wajib?” atau “apa dasar yang melandasi pernyataan itu?” Untuk itu ia harus siap dengan argumentasi atau penjelasan yang logis tentangnya. Argumentasi dan alasan yang logis ini, dalam bahasa Arab, disebut dengan dalil. Secara khusus, dalil berarti sesuatu yang memberikan petunjuk atau menuntun dalam menemukan hukum Allah. Karenanya, ketika seseorang mengatakan:

الأصل فى هذه المسئلة الكتاب والسنة
Yang jadi ashl pada masalah ini adalah al-Qur’an dan Sunnah.

Maksudnya adalah “yang menjadi dalil dalam masalah ini adalah al-Qur’an dan Sunnah”, karena makna ashl pada pernyataan itu adalah dalil.
Dari beberapa pengertian di atas, makna ashl yang paling untuk rangkaian kata ushul fiqh adalah makna dalil (الدليل). Dengan demikian ushul fiqh dapat diartikan dengan “dalil-dalil fiqh”.
Sementara pengertian istilahi dari kata fiqh adalah:

العلم بالأحكام الشرعية عن أدلتها التفصيلية بالاستدلال.

Ilmu tentang hukum-hukum syar’iy dari dalil-dalilnya yang terperinci dengan cara istidlal.

Yang dimaksud dengan “ilmu” dalam definisi ini adalah pengetahuan yang bisa menjadi ilmu (yakin) atau zhan (dugaan kuat), karena hukum-hukum syar’iy itu digali dan ditetapkan dari dalil-dalil yang bersifat qarh’iy dan zhanniy. Sementara kedua dalil itu dapat dijadikan sandaran dalam menetapkan hukum-hukum syar’iy, khususnya yang bersifat amaliyah.

Dengan memasukkan kata “hukum-hukum” dalam pengertian itu, maka hal lain yang tidak berkaitan dengan hukum tidak termasuk dalam kelompok fiqh, seperti pengetahuan tentang zat-zat, sifat-sifat, seperti fisik dan bentuk tubuh. Kemudian dengan menyifati hukum-hukum tersebut dengan “syar’iy” dapat dipahami bahwa hukum-hukum yang termasuk dalam kelompk fiqh adalah hukum-hukum yang berasal dari kehendak Allah, sementara hukum-hukum yang bersumber dari pemikiran rasional (seperti satu tambah satu adalah dua) dan instink (seperti api itu panas) tidak termasuk dalam lapangan fiqh.

Melalui penggabungan dalil-dalil dengan kata “terperinci” diperoleh pemahaman bahwa hukum syar’iy tersebut digali bukan dari dalil-dalil yang global (الإجمالية). Dalil-dalil yang bersifat ijmaliy itu disebut dengan ushul fiqh.

Dengan memasukkan kata istidlal (penggalian), maka harus dipahami bahwa fiqh itu diperoleh melalui penggalian, penalaran, penganalisaan dan penemuan. Ia diterima bukan sebagai “barang jadi”. Dengan demikian, hukum atau ilmu yang diterima oleh seorang yang betaqlid (مقلد) dari seorang mujtahid, terlepas dari dalilnya, tidak termasuk dalam pengertian fiqh. Demikian juga halnya dengan pengetahuan (ilmu) tentang sesuatu yang diperoleh secara dharuriy, seperti wajibnya shalat dan puasa, ia tidak termasuk dalam kelompok fiqh.

Dengan demikian, secara istilahi, ushul fiqh dapat diartikan dengan:

دليل الفقه على سبيل الإجمال

Dalil-dalil fiqh yang bersifat global.

Ulama Syafi’iyah melengkapi definisi tersebut dengan:

معرفة دلائل الفقه إجمالا وكيفية الاستفادة منها وحال المستفيد

Pengetahuan tentang dalil-dalil fiqh yang bersifat global, tata cara penggaliannya dan keadaan orang yang melakukan peggalian.

Sementara ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah mendefinisikannya:

القواعد التي توصل البحث فيها إلى استنباط الأحكام من أدلتها التفصيلية
أو هو العلم بهذه القواعد

Kaidah-kaidah yang menuntun dalam melakukan istinbath hukum-hukum dari dalil-dalilnya yang terperinci, atau ilmu tentang kaidah-kaidah tersebut.

Walau pengertian yang dikemukakan ulama tersebut sepertinya berbeda, namun secara sederhana dapat dikatakan bahwa ushul fiqh adalah “Kaidah-kaidah yang menjelaskan tata cara mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalilnya”.

Umpamanya dalam kitab-kitab fiqh ditemukan ungkapan: “Mengerjakan shalat itu hukumnya wajib”. Wajibnya mengerjakan shalat itu disebut hukum syara’. Di dalam al-Qur’an maupun hadis tidak pernah disebutkan bahwa shalat itu wajib. Yang disebutkan dalam al-Qur’an hanyalah perintah mengerjakan shalat, yang berbunyi:

أقيموا الصلاة ….

Ayat tentang perintah mengerjakan shalat itu disebut dalil syara’. Untuk meru-muskan kewajiban shalat (hukum syara’) dari ayat itu dibutuhkan suatu kaidah yang membimbingnya, misalnya kaidah yang berbunyi “Setiap perintah itu menunjukkan wajib”. Artinya hukum pekerjaan yang dituntut oleh suatu perintah adalah wajib. Dengan demikian baru dapat disimpulkan (dikeluarkan sebuah hukum), bahwa perintah yang terdapat di dalam ayat itu, juga didukung oleh ayat dan hadis lain, menunjukkan bahwa shalat itu wajib. Pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang menjelaskan tata cara mengeluarkan hukum dari dalil-dalil syara’ inilah yang disebut dengan ushul fiqh.
Dari penjelasan ini juga jelas perbedaan antara ushul fiqh dengan fiqh. Ushul fiqh adalah pedoman atau aturan-aturan yang membimbing dan menjelaskan tata cara yang harus diikuti seorang fakih dalam menggali dan mengeluarkan hukum syara’ dari dalinya; sedang fiqh adalah hukum syara’ yang telah digali tersebut.

Kaidah-kaidah Dasar Keilmuan
Dari pembahasan yang lalu, dan dalam pembahsan berikutnya, ditemui beberapa istilah tekhnis yang perlu dipertegas dan diperjelas. Di antaranya adalah:

1. Ilmu (العلم)
Ilmu atau pengetahuan merupakan suatu kemampuan internal seseorang dalam menyelesaikan persoalan ‘aqliyah yang dihadapinya. Ia lebih banyak berupa kemampuan yang bersifat non-fisik. Untuk itu ulama mendefenisikannya:

العلم هو صفة ينكشف بها المطلوب انكشافا تاما.

Ilmu adalah suatu sifat (kualitas spiritual) yang mampu mengungkap sesuatu yang dituntut (dipelajari) secara sempurna.

Sebagai modal dalam mengetahui hakikat yang sedang dipelajari, terkadang ilmu berhadapan dengan satu objek yang tidak membutuhkan usaha penyingkapan yang sulit dan terkadang butuh pemikiran dan usaha maksimal untuk itu. Berdsarkan hal ini, ilmu dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu ilmu dharuriy dan ilmu nazhariy.
Ilmu dharuriy merupakan salah satu bentuk ilmu yang berhadapan dengan objek yang tidak rumit, seperti untuk memahami satu adalah setengah dari dua. Berkaitan dangannya, ulama mendefinisikan sebagai berikut:

الضروري هو ما لا يحتاج فى تحصيله إلى نظر.

(Ilmu) dharuriy adalah ilmu yang tidak membutuhkan penalaran dalam menghasilkanya.

Sebaliknya dari ilmu dharuriy, ilmu nazhariy adalah satu bentuk ilmu yang berhadapan dengan objek yang rumit, hingga untuk meneyelesaikannya membutuhkan konsentrasi dan usaha sungguh-sungguh, seperti memahami bahwa satu adalah setengah dari 12 per 6. Ulama mendefenisikannya dengan:

النظري هو ما يحتاج إلى نظر.

(Ilmu) nazhariy adalah ilmu yang membutuhkan penalaran (dalam menghasilkannya).

2. Penalaran (النظر)
Dalam menyelesaikan permasalahannya, ilmu membutuhkan penalaran, apakah penalaran sederhana atau rumit dan sistematis. Penalaran itu sendiri diartikan dengan:

النظر هو الفكر المطلوب به علم أو ظن.

Penalaran adalah pemikiran yang menghasilkan ilmu (keyakinan) atau dugaan kuat (zhan).

3. Pemikiran (الفكر)
Selanjutnya, seperti terlihat dari defenisi di atas, ternyata penalaran masih membutuhkan sesuatu yang lain, yaitu pemikiran. Pemikiran itu diartikan dengan:

الفكر حركة النفس فى المعقولات.

Pemikiran adalah aktivitas jiwa berkaitan dengan objek yang masuk akal.

4. Dalil (الدليل)
Istilah lain yang juga sangat sering dimanfaatkan dalam ushul fiqh adalah “dalil”. Secara bahasa dalil berarti:

الدليل هو ما يمكن التوصل بصحيح النظر فيه إلى المطلوب.

Dalil adalah sesuatu yang mungkin untuk menyampaikan (jadi perantara) kepada sesuatu yang dituntut (dicari) melalui penalaran yang benar.

Dengan pemahaman yang tidak jauh berbeda, ulama lain mendefinisikannya dengan “Petunjuk terhadap sesuatu dan penyingkapan atas hakikat sesuatu”.

Sementara menurut istilah ushul fiqh, dalil berarti “Sesuatu yang mungkin digunakan untuk sampai kepada suatu hukum syara’ dalam bentuk yang pasti (qath’iy) atau dugaan kuat (zhanniy)”. Dalil qath’iy adalah dalil yang hukumnya bersifat pasti, hingga hukum yang dihasilkan darinyapun bersifat pasti, tidak bisa dita`wil, diubah, dan dinasakh. Sementara dalil zhanniy adalah dalil yang hukumnya bersifat zhanniy. Dalil seperti inilah yang bisa menjadi objek ijtihad, di mana hukum yang dihasilkannya bersifat zhanniy, bisa dita`wil, diubah, dan dinasakh. Hampir semua dalil hukum yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah bersifat zhanniy.

5. Jahil (الجهل)
Setiap manusia memiliki potensi (modal dasar) ilmu. Tapi sebagai sebuah modal dasar, ilmu tetap harus dikembagkan. Secara umum, orang yang mengembangkan potensi dasar itu secara maksimal sajalah yang disebut dengan orang yang berilmu, sementara orang yang mengembangkannya dalam batas minimal disebut dengan orang bodoh atau jahil. Secara definitif, jahil itu berarti:

الجهل هو عدم العلم بالشيء

Jahil adalah tidak memiliki ilmu tentang apapun.

Yang termasuk dalam definisi ini disebut jahil basith (الجهل البسيط). Di samping itu ada lagi yang disebut dengan jahil murakkab (الجهل المركب), yaitu yang termasuk dalam definisi berikut:

إدراك الشيء على خلاف ما هو له

Mengetahui sesuatu berbeda dengan hakikatnya yang sesungguhnya.

6. Zhan (الظن)
Dalam berbagai persoalan yang berbeda, atau mungkin bertentangan, terkadang seseorang, melalui penalaran yang benar diduga kuat bahwa salah satunya lebih benar dan lebih kuat dari yang lain. Dengan dugaan kuat itu, ia cenderung menerima dari pada menolaknya. Namun demikian, ia tidak merasa yakin bahwa “hanya” kesimpulannya yang benar dan yang lain salah. Berdasarkan penalarannya itu, ia berpegang dan melaksanakan kesimpulan yang telah diperolehnya. Keadaan seperti inilah yang disebut dengan zhan, yang secara definitif berarti:

الظن الإدراك الراجح لأحد الأمرين

Zhan adalah mengetahui (menemukan) yang terkuat dari dua persoalan.

7. Wahm (الوهم)
Dengan telah diperolehnya zhan salah satu dari persoalan yang berbeda, maka persoalan yang menjadi lawannya disebut dengan waham, yang secara definitif berarti:

الوهم هو الإدراك المرجوح لأحد الأمرين.

Waham adalah mengetahui (menemukan) yang terlemah dari dua persoalan.

Dalam keadaan sedikit berbeda, misalnya yang jadi objek hanya satu permasalahan, waham berarti sangat samar terhadap objek tersebut dan lebih berat kepada ketidaktahuan, sehingg hati lebih condong untuk mengingkarinya.

8. Syakk (الشك)
Keadaan lain yang juga mungkin terjadi dalam masalah seperti di atas, seseorang dengan penalarannya, tidak bisa menemukan yang lebih benar dan lebih kuat dari berbagai persoalan itu. Karenanya, ia tidak bisa berpegang pada salah satunya. Keadaan seperti inilah yang disebut dengan syakk, yang berarti:

الشك هو الإدراك المستوى بين الأمرين.

Syak adalah mengetahui (menemukan) dua persoalan yang sama kuat.

Dengan kata lain, syakk adalah sangsi antara sikap membenarkan atau menyangkal suatu putusan atau gambaran tentang suatu objek.

Beberapa Kaidah Dasar Pendukung Ushul Fiqh
Berkaitan dengan empat keadaan yang mungkin ditemui seseorang dalam menuntut ilmu, maka masing-masingnya mempunyai hubungan dengan bisa atau tidaknya hukum ditemui dan dilaksanakan, sebagai berikut:

1. Keyakinan menghasilkan hukum (اليقين فيه الحكم)
Secara bahasa yakin berarti pasti, kuat dan nyata. Secara istilahi, ia berarti pengetahuan dengan perasaan pasti terhadap sesuatu. Sebagai kebalikan dari yakin adalah Syakk. Keyakinan dapat diperoleh melalui salah satu dari tiga cara, yaitu:

a. Khabar (berita), seperti keyakinan akan adanya hari kiamat yang muncul dari berita yang dibawa oleh para rasul berupa wahyu atau kitab suci.

b. Dalail (petunjuk), seperti keyakinan adanya api di satu tempat karena ada asap.

c. Musyahadah (penyaksian langsung), seperti keyakinan adanya Ka’bah di kota Mekah setelah melihatnya secara langsung.

Dalam bahasan ushul fiqh, yang lebih menekankan bahasannya pada dalil hukum, keyakinan yang bisa diperoleh seseorang berdasarkan kualitas dalil yang digunakan dalam melakukan penetapan hukum, yaitu dalil yang qath’iy. Suatu dalil yang bersifat zhanniy (yang dimaksud di sini adalah zhanniy al-dilalah bukan zhanniy al-wurud) secara mandiri (terlepas dari yang lain), dapat ditingkatkan kualitasnya menjadi qath’iy melalui tiga cara:

a. Melalui ijma’ para sahabat bahwa hukum itu bersifat qath’iy, seperti hukum-hukum yang berkaitan dengan persoalan yang sudah diketahui secara pasti, seperti kewajiban mengesakan Allah SWT.

b. Didukung oleh dalil lain. Misalnya ayat أقيموا الصلاة. Perintah (aqimuw) dalam ayat itu bisa jadi wajib atau sunat. Tapi karena ayat tersebut didukung oleh berbagai dalil lain (al-Qur’an, hadis dan ijma’) yang juga memerintahkan untuk melaksanakan shalat, maka dalil (ayat) di atas menjadi qath’iy.

c. Melalui induksi terhadap makna dalil-dalil lain. Maksudnya, melalui pemaham-an mendalam dan menyeluruh terhadap makna dalil-dalil lain, baik yang secara langsung menyebutkan kata yang sama ataupun tidak. Misalnya kewajiban berlaku adil yang disebutkan dalam berbagai dalil (seperti QS. 42 :15, 5: 8, 2: 282, 4: 58 dan 16: 90), dan larangan berbuat mudharat yang juga didukung oleh berbagai dalil (seperti QS. 2: 233 dan 282, 65: 6 dan hadis nabi lainnya).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa berdasarkan dalil yang qath’iy dapat disimpulkan suatu hukum yang juga qath’iy.

2. Zhan menghasilkan hukum (الظن فيه حكم لحصول الرجحية فيهما)
Menurut jumhur ulama, semua dalil (termasuk al-Qur’an dan hadis), secara mandiri bersifat zhanniy. Ia baru bisa bersifat qath’iy kalau didukung oleh dalil lain, seperti dijelaskan di atas. Walau demikian, dari satu dalil yang ahnniy tetap bisa ditarik atau ditemukan satu hukum. Hanya saja hukum yang dihasilkan dari dalil zhanniy juga hukum yang bersifat zhanniy, karena ia diperoleh berdasarkan dugaan kuat terhadap lebih benar atau lebih kuatnya dari dua kemungkinan yang bisa muncul.
Penyebab zhanniy-nya sebuah dalil diantaranya karena di dalamnya terdapa lafaz yang bermakna samar-samar, baik karena faktor di luar lafaz itu (khafiy ) mupun karena faktor lafaz itu sendiri (musykil dan mujmal ), atau karena lafal yang digunakan bukan dengan makna yang sesungguhnya (seperti penyebutan “tangan Allah”) atau tidak diketahui artinya seperti beberapa huruf Hija`iyyah di awal surat. Dua jenis terakhir ini disebut dengan mutasyabih.

Sebagai contoh, dalam surat al-Baqarah ayat 219 terdapat lafaz yang musykil, yaitu kata quru` (والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلاثة قروء) sebagai batas masa ‘idah. Ulama Hanafiyah, dengan dikuatkan oleh berbagai dalil lain, menyataka bahwa kata quru` itu berarti “haid”. Sementara ulama Syafi’iyah, juga dilandaskan pada berbagai dalil, menyatakan bahwa ia berarti “suci”.

3. Waham tidak menghasilkan hukum (الوهم لا حكم فيه)
Parena pada waham terdapat kesamaran terhadap objek yang ditelaah yang lebih berat kepada ketidaktahuan dan hati lebih condong untuk mengingkarinya, maka waham tidak menghasilkan hukum. Kalau seseorang berpegang pada kesimpulan yang didasarkan pada waham, berarti ia mengingkari hati nuraninya sendiri.

4. Syak tidak menghasilkan hukum (الشك لا حكم فيه لواحد من الطرفين)
Berbeda dengan waham, walau pada syakk tidak ditemui satu temuan yang lebih kuat, tapi padanya terdapat pengetahuan yang terbatas dan hati tidak menolak salah satunya. Meskipun demikian tetap tidak bisa dihasilkan hukum dari syakk, karena mustahil untuk menjalankan dua perbuatan oleh satu orang dalam satu waktu serentak.

Pembahasan Ushul Fiqh
Pemhasan yang dilakukan dalam ilmu ushul fiqh berkisar pada:

اثبات الأدلة للأحكام وثبوت الأحكام بأدلة

Menetapkan (memantapkan) dalil untuk hukum dan menetapkan hukum dengan dalilnya.
Maksudnya, ketika hukum suatu perbuatan sudah diketahui, maka tugas ilmu ushul fiqh adalah menelusuri dalil yang mendukungnya (atau menentangnya) dan ketika ditemui suatu dalil, maka dengan ilmu ushul fiqh dapat diketahui hukum yang muncul darinya. Sebagai contoh, ketika orang mengetahui bahwa shalat itu wajib, maka dengan ilmu ushul fiqh dapat dilacak dalil yang menjadi dasarnya (rata-rata orang yang Islam-nya karena keturunan mengetahui wajibnya shalat terlebih dahulu, baru kemudian mempelajari dalilnya). Tapi ketika seseorang menemui dalil yang berbunyi:

أقيموا الصلاة

Maka dengan ilmu ushul fiqh ia dapat menyimpulkan sebuah hukum, yaitu melalui (logika sederhana): “aqimuw adalah perintah (amr), sementara setiap perintah menghasilkan wajib, maka kesimpulannya (perintah) أقيموا الصلاة adalah untuk wajib.
Dengan lebih rinci dapat dikemukakan, bahwa pokok pembahasan dalam ilmu ushul fiqh adalah:

a. Dalil-dalil atau sumber hukum syara’

b. Hukum-hukum syara’ yang terkandung dalam dalil tersebut

c. Kaidah-kaidah dan cara mengeluarkan hukum syara’ dari dalil atau sumbernya.

Dalam membicarakan dalil hukum, akan berkaitan dengan kemungkinan terjadinya benturan (pertentangan) antara dalil-dalil dan cara penyelesaiannya. Orang yang akan melakukan pembahasan tersebut tentu juga tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang dan juga tidak bisa dilakukan dengan cara sembarangan, makanya juga perlu dibahas tantang mujtahid dan ijtihad. Untuk orang yang tidak mampu berijtihad, diberikan jalan keluarnya dan dibahas melalui ittiba’ dan taqlid.

Ilmu-ilmu Bantu Ushul Fiqh
Ilmu ushul fiqh bukanlah satu ilmu yang berdiri sendiri, ia ada dan bisa bekerja dengan bantuan ilmu-ilmu lainnya. Di antara ilmu lain yang sangat erat kaitannya dengan ushul fiqh adalah ilmu tauhid dan ilmu bahasa Arab.

Ilmu tauhid berfungsi untuk memantapkan dalil-dalil syari’ah dalam rangka pengenalan terhadap Allah Yang Maha Mencipta (al-bari) SWT. Sementara ilmu bahasa Arab sangat menentukan dan jadi modal penting dalam memahami al-Qur’an dan Sunnah, yang berbahasa Arab, serta memanfaatkan keduanya sebagai dalil.

Aliran-aliran (Mazhab) Ushul Fiqh
Dalam sejarah perkembangan fiqh, secara garis besarnya dikenal dua aliran ushul fiqh yang berbeda. Perbedaan itu muncul akibat perbedaan dalam membangun teori ushul fiqh masing-masing. Kedua aliran itu terus dikembangkan oleh para pengikutnya. Di antara mereka ada yang berusaha menggabungkan keduanya.

Aliran (mazhab) pertama disebut dengan aliran mutakallimin, yang merupakan jumhur ulama ushul yang didominasi oleh pembahasan aspek-aspek bahasa. Ulama aliran ini (terutama Imam Syafi’i) adalah ulama yang pertama kali mengemukakan teori ushul fiqh secara rinci dan sistematis. Sesuai dengan namanya, aliran ini sangat berdekatan dengan ilmu kalam (tauhid), yang memberikan pengaruh cukup besar dalam pembahasannya, misalnya mereka seringkali berpanjang-panjang dalam melakukan pemabahsan tentang kema’suman Rasul (padahl itu adalah masalah akidah).

Aliran ini membangun ushul fiqh secara teoritis. Di mana ia menetapkan kaidah-kaidah dengan alasan yang kuat, baik naqli maupun ‘aqli, tanpa terpegaruh oleh masalah-masalah furu’ dari berbagai mazhab. Makanya teori tersebut terkadang sesuai dengan hukum furu’ namun terkadang tidak sesuai. Setiap permasalahan yang diterima akal dan didukung oleh dalil naqli dapat dijadikan kaidah, baik yang sejalan dengan furu’ suatu mazhab atau tidak, sesuai dengan kaidah yang telah ditetapkan imam mereka ataupun tidak. Hanya saja teori yang dibangun aliran ini serigkali tidak membawa pengaruh dalam keperluan praktis (menghadapi persoalan nyata di tengah masyarakat).
Aliran kedua disebut dengan aliran fuqaha` atau Hanafiah, yang dianut oleh ulama dari mazhab Hanafi. Ia dinamakan dengan aliran fuqaha` karena dalam membangun teori ushulnya banyak dipengaruhi oleh masalah-masalah furu’ dalam mazhab mereka; satu kaidah dibangun setelah memahami seluruh masalah furu’ yang ada dalam mazhab mereka, sebaliknya kalau ada satu kaidah bertentangan dengan pendapat dalam mazhab mereka, maka kaidah itu diubah.

Penutup
Dengan mempelajari ilmu ushul fiqh dapat diketahui, secara pasti (ilmu) atau zhan, tentang hukum-hukum Allah dan meninggalkan (menanjak dari) lembah taklid; melalui pemanfaatan kaidah-kaidah istinbath terhadap berbagai persoalan yang bersifat cabang (furu’), dan itu adalah derjat mujtahid; melalui mengembalikan furu’ kepada ushulnya, itu adalah derjatnya para muttabi’. Dengan itu, dapat diupayakan keikhlasan dalam mengamalkan agama Allah yang akan mengantarkan manusia kemenangan, yaitu kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Sebagian orang mengatakan bahwa ilmu ushul fiqh adalah sebuah cerita (hikayat; yang tidak berdasar dan bersifat ilusi) dan tidak ada yang lebih baik bagi umat saat ini selain mengikuti ketetapan dan jalan yang telah ditempuh oleh para pendahulu mereka (para imam mujtahid) dengan cara taklid terahdap mazhab dan dalil-dalil yang telah mereka buat. Pendapat seperti ini tertolak dengan sendirinya setelah diketahuinya kaidah-kaidah ilmu ushul fiqh, dan manfaat apa lagi yang lebih besar dibandingkan dengan peningkatan dari derjat taklid ke derjat mujtahid atau ittiba’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar