Jumat, 03 Februari 2012

KRONOLOGI KERUSUHAN POSO (17 -04-2000)


KRONOLOGI KERUSUHAN POSO (17 -04-2000)


LATAR BELAKANG KERUSUHAN
Ada empat hal mendasar yang melatarbelakangi kerusuhan Poso.

1.    Drs. Afgar Patanga.
               Adik kandung mantan Bupati Poso ini dituduh telah menyebarkan selebaran
gelap yang mengakibatkan meletuskan kerusuhan I Poso Desember 1998. Setelah
diteliti oleh Laboratorium Kriminal (Labkrim) Kepolisian Makasar,
dipastikan bahwa Afgar Patangan-lah penulisnya. Oleh karena itu Afgar
Patanga telah menjadi terdakwa sehubungan dengan kasus kerusuhan Poso
Desember 1998, dan sedang menunggu vonis dari Pengadilan Negeri Palu
tanggal 20 April 2000. Namun sebelum vonis dijatuhkan, terjadilah kerusuhan
kedua di Poso tanggal 17 April 2000. Kakaknya Arief Patanga yang disinyalir
juga sebagai aktor intelektual kerusuhan Poso bersama kelopmpok Islam tidak
menghendaki Afgar Patangan dihukum. Sehingga ada konflik antara Keluarga
Patanga dengan Pihak Kepolisian yang telah mengungkapkan dan memberitahukan
bahwa Afgar Patanga-lah yang menulis selebaran gelap itu. Tidak heran
tatkala terjadi kerusuhan baru-baru ini (17 April) ada massa yang berteriak
"Ganti Kapolres!"

2.    Drs. Damsyik Ladjalani.
               Ketua Bappeda Poso ini diduga terlibat pada kerusuhan Desember 1998. Bentuk
keterlibatan ialah memberi petunjuk rumah-rumah yang akan dijarah dan
dibakar. Kelompok mereka menghendaki agar Damsyik Ladjalani menjadi
Sekwilda menggantikan Yahya Patiro SH (Kristen). Namun oleh Gubernur,
Damsyik Ladjalani ditarik ke Palu. Sehingga ada rasa tidak puas dari pihak
mereka.
3.    Yahya Patiro, SH (Sekwilda Poso).
               Tatkala kerusuhan Posos I meletus, melalui selebaran gelap yang ditulis
oleh Afgar Patanga, Yahya Patiro (Kristen) diisukan dan dikambing hitamkan
sebagai dalang kerusuhan Poso. Namun setelah Tim Klarifikasi Gubernur dan
Pihak Kepolisian mengadakan  klarifikasi dan investigasi, Yahya Patiro
dinyatakan tidak terlibat dan sama sekali tidak bersalah. Namun pihak Islam
menghendaki agar Yahya Patiro dihukum.
               Untuk meredam emosi massa, Yahya Patiro tidak lagi menjabat Sekwilda Poso.
Namun karena ia tidak bersalah, Gubernur memberikan dia posisi yang cukup
penting di Kantor Gubernur, yaitu menjadi Assisten III Gubernur. Hal ini
menimbulkan ketidakpuasan dari pihak Islam.

4.    Daeng Raja.
               Penyaluran dana Kredit Usaha Tani (KUT)  dengan nilai sekitar 100 juta
rupiah yang ditangani Daeng Raja bermasalah dan tidak jelas pertanggung
jawabannya. Disinyalir telah terjadi penyimpangan. Dana tersebut seharusnya
disalurkan kepada para petani di Lore Utara Kabupaten Poso. Kelompok Daeng
Raja juga jengkel kepada pihak Kepolisian yang ingin membongkar skandalnya.

PRA KONDISI
               Harian Mercusuar edisi 15 April 2000 mengutip ucapan Hailani Umar (Anggota
DPRD dari PPP ) yang mengatakan, "Poso bisa rusuh jika aspirasi masyarakat
yang menghendaki Damsyik Ladjalani (Ketua Bappeda Poso) sebagai Sekwilda
Poso, tidak terpenuhi. Damsyik kemudian gagal menjadi Sekwilda setelah
dilantik sebagai Wakil Ketua Bappeda Sul-Teng, dan Poso benar-benar rusuh
sehari setelah pernyataan Hailani dimuat di Mercusuar. (Kompas, Sabtu, 29
April 2000 hal. 23 Kol. 1-3).

Pemicu Kerusuhan.
1.    Bermula dari pertengkaran (rekayasa) antara 2 pemuda bernama Wawan
(Islam) dari Kelurahan Lombogia (mayoritas Kristen) dengan ........?
(Islam)  Dari Kelurahan Sayo (daerah Islam). Walaupun keduanya muslim,
tetapi karena yang satunya dari daerah Lombogia yang mayoritas Kristen maka
peristiwa itu dipolitisir seakan-akan Kristen lawan Islam. Saat
pertengkaran terjadi lewatlah pemuda dari Kelurahan Kayamanya bernama Dedy.
               Dedy mengaku dipukul oleh pemuda dari Kelurahan Lombogia (Kristen) hingga
terluka. Tetapi menurut pemberitaan Harian Kompas, luka ditangan Dady
adalah karena sengaja Dedy melukai/menyayat tangannya  sendiri, yang
kemudian dipolitisir bahwa orang Kristenlah yang ingin membantainya. Mulai
dari peristiwa kecil inilah terjadinya kerusuhan di Poso tanggal 17 April
2000, disertai penyerangan ke daerah Kristen, pembakaran gereja dan
rumah-rumah orang Kristen serta penjarahan.

2.    Karena Konsentrasi Massa sangat banyak,  maka pihak keamanan (Brimob)
membarikade perbatasan Kristen dan Islam. Namun Massa pihak Islam semakin
brutal dan tak terkendali sehingga Brimob terpaksa melepaskan tembakan
sehingga jatuh dua korban jiwa meninggal. Satu dari Bonesompe dan satu lagi
dari Kayamanya. Hal ini semakin membuat massa Islam bringas. Akibatnya,
Asrama Brimob dibakar dan Brimob diminta untuk ditarik dari Poso.
Korban Kerugian dan kerusakan.

1.    Gereja GKST Pniel Poso : Pdt. Mbio, S.Th Jl. Ki Hajar Dewantoro 4 habis
dibakar.
2.    2. GPDI Ebenhezer Poso : Pdt. Sammuel Lagarense B.Th, Telp. 0452-21709
3.    3. Gereja Advent Poso dibakar.
4.    4. GKI Sul-Sel Poso Jl. Samratulangi habis dibakar.
5.    5. Kantor Klasis GKST Poso Kota di persimpangan antara Jl. Sudirman dan Jl.
Gatot Subroto dibakar.
6.    6. Gereja GKST Zion (dilempar)
7.    7. Gereja GKST Ekklesia (rusak)
8.    8. Gereja GKST GKST Kasiguncu (rusak)
9.    9. Gereja GKST Sayo (dirusak)
10.  10. SMP Kristen GKST (dibakar)
11.  11. SMU Kristen GKST (dibakar)
12.  12. Ruang serba guna dan Konsistori GKST Jl. Ki Hajar Dewantoro 4 habis
dibakar.

13.  13. Aula Polisi (Gedung Lama) di Jl. Sudirman dibakar. Ada 252 rumah
penduduk (mayoritas Kristen dibakar)
Ada 6 buah mobil dan 20 Sepada motor dibakar.
3400 jiwa kehilangan tempat tinggal.
Mereka mengungsi antara lain ke :
Tentena      400 jiwa
Tagolu      500 jiwa
Kawua 2.200 jiwa
Asrama Kodim      500 jiwa
Lainya ke Palu, Madale,  Gunung/hutan.
Para pengungsi pada umunya telah kehilangan rumah dan harta benda, sebab
rumah dibakar dan harta yang tertinggal dijarah dan dirusak oleh perusuh.
Akibat Kerusuhan
a.    Satu Komunal Kristen Hilang. Dalam hal ini dipertanyakan:
Dimana hak kebebasan beragama?
b.    Dimana hak untuk hidup?
c.    Dimana hak untuk menikmati rasa aman?




KRONOLOGI TRAGEDI AMBON-MALUKU BERDARAH

Desember 1998 s.d. Desember 2000
Tragedi berdarah di Ambon dan sekitarnya bukanlah sesuatu yang tiba-tiba. Menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI), sebelum peristiwa Iedul Fithri 1419H berdarah, tercatat beberapa peristiwa penting yang dianggap sebagai pra-kondisi, bahkan jauh ke belakang pada tahun 1995. Beberapa peristiwa itu (sebagian) adalah sebagai berikut.1)
15 Juni 1995: Desa berpenduduk Islam, Kelang Asaude (Pulau Manipa), diserang warga Kristen Desa Tomalahu Timur, pada waktu Shubuh. Penyerangan dikoordinasikan oleh empat orang yang nama-namanya dicatat oleh MUI.
21 Pebruari 1996 (Hari Raya Iedul Fithri) : Desa Kelang Asaude diserang lagi. Serangan dilakukan oleh warga Tomahalu Timur dengan menggunakan batu dan panah. Tiga hari sebelumnya, serombongan orang yang dipimpin oleh sersan (namanya tercatat) datang ke Desa Asaude, menangkap raja (kepala desa) berikut istri dan anak-anaknya. Mereka menggeledah isi rumah dan menginjak-injak peralatan keagamaan.
18 Nopember 1998: Korem 174 Pattimura didemo. Sejumlah besar mahasiswa Unpatti (Universitas Pattimura) dan UKIM (Universitas Kristen Indonesia Maluku), yang dimotori oleh organisasi pemuda dan mahasiswanya menghujat Danrem Kolonel Hikayat. Demonstrasi berlangsung dua hari. Mereka membakar beberapa mobil keamanan, melukai tukang becak, dan merusak serta melempari kaca kantor PLN Cabang Ambon. Jatuh korban luka-luka, baik di pihak mahasiswa maupun kalangan ABRI.
Beberapa bulan sebelumnya, berlangsung desas-desus dan teror. Isu pengusiran orang-orang Bugis-Buton-Makassar (BBM) sudah beredar di tengah masyarakat yang membuat gelisah banyak orang. Mereka kurang bisa membedakan suku Bugis dan Makassar. Kedua suku ini sebenarnya adalah satu. Orang-orang Muslim suku lain (non-Maluku) juga diisukan untuk diusir. Produksi pesanan senjata tajam ditengarai sangat tinggi. Pesanan dilakukan oleh kelompok tertentu.
Isu pengusiran BBM memang berbau SARA, terutama yang menangkut suku dan agama. Entah bagaimana awalnya dari dalam Gereja. yang tepat, isu BBM bertiup dengan kencang dari kalangan Kristen, bahkan kabarnya disuarakan oleh Gereja.
Menjelang akhir Nopember 1998: Sekitar 200 preman Ambon dari Jakarta, yang bekerja sebagai penjaga keamanan tempat judi pulang kampung. Merekalah yang memulai bentrok dengan penduduk Ketapang (Jakarta). Karena umat Islam Jakarta marah, mereka dikepung. Beberapa darinya tewas. Sejumlah besar yang lain diminta masyarakat agar dievakuasi oleh aparat keamanan. Sebagian dari mereka - sekitar 200 orang - inilah yang pulang ke Ambon.
Beberapa 'Test Case' Sebelum Iedul Fithri Berdarah
Setidaknya, ada tiga peristiwa penting yang dapat dianggap sebagai bagian dari tragedi Iedul Fithri berdarah 1999. Ketiga peristiwa itu adalah peristiwa Wailete tanggal 13 Desember 1998, peristiwa Air Bak 27 Desember 1998, dan peristiwa Dobo 14 dan 19 Januari 1999. Peristiwa-perista di atas adalah sebuah 'test case' yang dinilai berhasil mendeteksi keberanian, persatuan dan kesatuan serta kesiapan Ummat Islam se-Ambon untuk berperang. Kesabaran Ummat Islam yang tengah menyongsong bulan Ramadhan itu dianggap suatu kelemahan terutama penilaian terhadap suku Bugis-Buton-Makassar yang kurang kompak. Atas dasar penilaian demikian itu tampaknya dijadikan peluang untuk mengobarkan Tragedi Iedul Fithri Berdarah. Hal ini terbukti dengan tiba-tiba didatangkan ratusan preman dari Jakarta, eks-konflik Jalan Ketapang, Jakarta sebagai pelaku di lapangan.
Serangan Massa Kristen ke Desa Wailete
13 Desember 1998 : Desa Wailete yang merupakan perkampungan Muslim masyarakat asal Bugis-Buton-Makasar (BBM) diserang oleh warga Kampung Hative Besar (Kristen). Ratusan massa Kristen menyerbu dengan batu, dan membakar kampung Wailete. Serangan dilakukan dua kali pada malam itu dimana tahap kedua dilakukan secara tuntas membakar habis semua rumah sehingga penghuni hanya menyelamatkan diri dengan baju yang melekat di badan saja. Empat rumah dilaporkan terbakar dan satu kios bensin milik orang Bugis terbakar dan meledak. Penduduk desa tersebut mengungsi.2)
Tidak pernah ada kejelasan penyelesaian dalam peristiwa itu. Bahkan polisi tampak ragu menghadapi ancaman warga desa Hative Besar. Keraguan aparat ini tampak jelas sebagai hasil penghujatan selama demo dengan pecahnya insiden Batu Gajah. Dalam rangkaian penghujatan lewat berbagai media massa sebagian berpendapat bahwa oknum Polri telah berhasil digalang untuk melaksanakan rencana mereka. Surat kabar Suara Maluku tidak memberitakan peristiwa besar ini secara proporsional, dua kali pemberitaan yang tidak jelas kemudian menghilang, padahal kasus Batu Gajah diberitakan luar biasa bahkan tulisan-tulisan dengan ungkapan Anjing dan Babi masih berulang selama sebulan.
Ummat Islam yang menjadi panas karena solidaritas Islamiyahnya sebenarnya mengharapkan adanya reaksi protes, pembelaan dan pertolongan yang memadai tetapi hal itu tidak terjadi karena para pemimpinnya memang lemah dan tidak ada tokoh pemersatu. Warga masyarakat desa Hative Besar telah membuktikan secara nyata isu yang berkembang bahwa suku Bugis-Buton-Makassar dan Jawa-Sunda akan diusir dari Ambon.
Setelah aksi pembakaran itu para tokoh desa Hative Besar mengeluarkan pernyataan bahwa mereka tidak akan menerima kedatangan suku Bugis-Buton-Makasar lagi ke desa Wailete, karena itu desa Wailete tidak pernah dibangun lagi, bahkan parapenghuni yang telah melarikan diri itu tak berani mengunjungi bekas kampungnya. Pemerintah daerah tidak memasukanpembakaran desa Wailete ini kedalam program rehabilitasi, dianggap bukan dalam rangka kerusuhan Ambon.3)
Serangan Massa Kristen ke Desa Air Bak Akhir Desember 1998
27 Desember 1998 : Desa Air Bak, yang hanya berpenduduk sekitar 8 keluarga beragama Islam (desa kecil) diserbu warga Desa Tawiri yang mayoritas beragama Kristen. Pertikaian ini diawali ketika ada Babi peliharaan masyarakat Tawiri memasuki kebun masyarakat desa Bak Air, hal seperti ini biasa terjadi. Menghalau dengan lemparan batu saja Babi akan keluar dari kebun. Kali ini, kejadian ini dijadikan masalah oleh orang Kristen Tawiri. Orang-orang Muslim dilempari batu. Tidak ada penyelesaian, malah warga Muslim yang ditahan polisi.
5 Januari 1999 : Di tengah masyarakat beredar isu akan tejadinya kerusuhan pada Hari Raya Iedul Fithri, meski beberapa penyampaian di antaranya dengan bahasa yang disamarkan. Di bagian lain bisa dibaca bagaimana isu itu berkembang di Kampung Batu Gantung Waringin. Seluruh rumah di situ dibakar dan diruntuhkan. Kampung ini dihuni oleh mayoritas orang Bugis.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar