BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Kesehatan adalah hak dan investasi, semua warga negara berhak atas
kesehatannya karena dilindungi oleh konstitusi seperti yang tercantum dalam UUD
1945 Pasal 27 ayat kedua dimana tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan
dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dengan berpedoman pada kalimat
tersebut maka dapat dijelaskan bahwa semua warga negara tanpa kecuali mempunyai
hak yang sama dalam penghidupan dan pekerjaan, penghidupan disini mengandung
arti hak untuk memperoleh kebutuhan materiil seperti sandang, pangan dan papan
yang layak dan juga kebutuhan immateri seperti kesehatan, kerohanian, dan
lain-lain. Demikian juga halnya kesehatan dapat pula diartikan investasi karena
kesehatan adalah modal dasar yang sangat diperlukan oleh segenap masyarakat
untuk dapat beraktifitas sesuai dengan tugas dan kewajibannya masing-masing
sehingga mampu menghasilkan sesuatu yang bermanfaat secara ekonomi. Namun bila
kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan bisa-bisa seluruh harta dan kekayaan
yang mereka peroleh habis digunakan untuk memperoleh kesehatan tersebut.
Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1960
tentang Pokok-Pokok Kesehatan yang menyebutkan bahwa kesehatan rakyat adalah
salah satu modal pokok dalam rangka pertumbuhan dan kehidupan bangsa dan
mempunyai peranan penting dalam penyelesaian revolusi nasional dan penyusunan
masyarakat sosialis Indonesia. Sehingga pemerintah harus mengusahakan bidang
kesehatan dengan sebaik-baiknya, yaitu menyediakan pelayanan kesehatan yang
memadai dan dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat umum.
Namun harus diakui bahwa kualitas kesehatan masyarakat Indonesia
selama ini tergolong rendah. Selama ini masyarakat, terutama masyarakat miskin,
cenderung kurang memperhatikan kesehatan mereka. Hal ini dapat disebabkan
karena rendahnya tingkat pemahaman mereka akan pentingnya kesehatan dalam
kehidupan, padahal kesadaran rakyat tentang pemeliharaan dan perlindungan
kesehatan sangatlah penting untuk mencapai derajat kesehatan yang
setinggitingginya. Tetapi, disisi lain, rendahnya derajat kesehatan masyarakat
dapat pula disebabkan oleh ketidakmampuan mereka untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan karena mahalnya biaya pelayanan yang harus dibayar. Tingkat
kemiskinan yang tinggi menyebabkan masyarakat miskin tidak mampu memenuhi
kebutuhan akan pelayanan kesehatan yang tergolong mahal. Banyak penelitian
empiris yang menyatakan bahwa kesehatan berbanding terbalik dengan kemiskinan,
dimana ada kemiskinan maka masalah kesehatan akan semakin nyata terjadi.
Biaya kesehatan yang mahal menjadi kendala bagi masyarakat miskin
untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai. Ada beberapa faktor yang mendorong
peningkatan biaya kesehatan, yaitu :
1. Sifat layanan itu sendiri, sifat dari pada suatu
layanan kesehatan adalah padat modal, padat teknologi dan padat karya sehingga
modal yang harus ditanam semakin besar dan dibebankan pada biaya perawatan.
2. Bagaimana negara memandang masalah pelayanan
kesehatan sebagai kebutuhan warga negaranya dan bagaimana negara
menyelenggarakan dan memenuhi pelayanan kesehatan yang diperlukan (Sulastomo,
2004 ; 42-43).
Jika tidak segera diatasi, kondisi yang sedemikian rupa akan
memperparah kondisi kesehatan masyarakat Indonesia, karena krisis ekonomi telah
meningkatkan jumlah masyarakat miskin dan mengakibatkan naiknya biaya pelayanan
kesehatan, sehingga semakin menekan akses mereka terhadap sektor ini karena
biayanya yang semakin tak terjangkau. Kemiskinan merupakan salah satu persoalan
utama yang dihadapi oleh Indonesia
dari tahun ke tahun. Masalah ini semakin lama semakin tidak dapat
terselesaikan, bahkan angka kemiskinan di negara kita semakin lama semakin
meninggi karena krisis ekonomi yang terus berkepanjangan memperbesar jumlah
penduduk miskin di Indonesia.
Pelayanan kesehatan terhadap segenap warga negara adalah menjadi
tanggung jawab pemerintah seperti yang diamanatkan dalam undang-undang. Namun
tidak dapat dipungkiri bila pelayanan kesehatan khususnya dari sector publik
masih banyak kendala dan hambatan terutama dalam hal kualitas pelayanan.
Tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan dari sektor publik masih cukup
rendah hal ini dibuktikan dari beberapa penelitian empiris terhadap kualitas
pelayanan di birokrasi pemerintahan daerah.
Berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan kalangan akademisi
dan birokrat tentang pelayanan publik di Indonesia, ternyata kondisinya
masih seringkali “ dianggap “ belum baik dan memuaskan. Hal ini ditunjukkan
dari kesimpulan yang dibuat oleh Agus Dwiyanto, dkk dalam GDS (Governance
and Decentralization ) 2002 di 20 propinsi di Indonesia tentang kinerja
pelayanan publik menyebutkan “… secara umum praktek penyelenggaraan pelayanan publik
masih jauh dari prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik “ (2003: 102).
Kemudian kinerja pelayanan birokrasi publik di Indonesia,
berdasarkan laporan dari The World Competitiveness Yearbook tahun 1999
berada pada kelompok Negara-negara yang memiliki indeks competitiveness paling
rendah antara 100 negara paling kompetitif di dunia (Cullen dan Cushman, dalam
Dwiyanto, dkk., 2002: 15).
Sementara itu, kondisi masyarakat saat ini telah terjadi suatu
perkembangan yang sangat dinamis, tingkat kehidupan masyarakat yang semakin
baik, merupakan indikasi dari empowering yang dialami oleh masyarakat (Thoha
dalam Widodo, 2001). Hal ini berarti masyarakat semakin sadar akan apa yang
menjadi hak dan kewajibannya sebagai warga negara dalam hidup bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Masyarakat semakin berani untuk mengajukan tuntutan,
keinginan dan aspirasinya kepada pemerintah. Masyarakat semakin kritis dan
semakin berani untuk melakukan kontrol terhadap apa yang dilakukan oleh
pemerintahnya.
Kesadaran akan hak-hak sipil yang terjadi di masyarakat tidak lepas
dari pendidikan politik yang terjadi selama ini. Selama ini masyarakat
cenderung pasrah dan menerima terhadap apa yang mereka dapatkan dari pelayanan
aparatur pemerinta. Hal ini lebih diakibatkkan karena sikap dari aparatur
pelayanan publik yang tidak berorientasi pada kepuasan masyarakat, pelayanan hanya
bersifat sekedar melayani tanpa disertai rasa peduli dan empati terhadap
pengguna layanan. Namum kondisi yang terbuka seperti sekarang ini mengharuskan
aparatur sebagai pelayan publik lebih peduli lagi terhadap hak-hak sipil
khususnya dalam pelayanan publik.
Pemerintah di dalam menyelenggarakan pelayanan publik masih banyak
dijumpai kekurangan sehingga jika dilihat dari segi kualitas masih jauh dari
yang diharapkan masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan masih munculnya berbagai
keluhan masyarakat melalui media massa.
Jika kondisi ini tidak direspon oleh pemerintah maka akan dapat menimbulkan
citra yang kurang baik terhadap pemerintah sendiri. Mengingat fungsi utama
pemerintah adalah melayani masyarakat maka pemerintah perlu terus berupaya
meningkatkan kualitas pelayanan publik (Men PAN, 2004 : 5).
Pelayanan merupakan tugas utama yang hakiki dari sosok aparatur,
sebagai abdi negara dan abdi masyarakat. Tugas ini telah jelas digariskan dalam
pembukaan UUD 1945 alinea keempat, yang meliputi 4 (empat) aspek pelayanan
pokok aparatur terhadap masyarakat, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa dan melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Dalam kondisi masyarakat seperti digambarkan di atas, birokrasi publik
harus dapat memberikan layanan publik yang lebih profesional, efektif,
sederhana, transparan, terbuka, tepat waktu, responsif dan adaptif serta
sekaligus dapat membangun kualitas manusia dalam arti meningkatkan kapasitas
individu dan masyarakat untuk secara aktif menentukan masa depannya sendiri
(Effendi dalam Widodo, 2001). Arah pembangunan kualitas manusia tadi adalah
memberdayakan kapasitas manusia dalam arti menciptakan kondisi yang
memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan
kreativitasnya untuk mengatur dan menentukan masa depannya sendiri.
Selain itu, dalam kondisi masyarakat yang semakin kritis di atas,
birokrasi publik dituntut harus dapat mengubah posisi dan peran (revitalisasi)
dalam memberikan pelayanan publik. Dari yang suka mengatur dan memerintah
berubah menjadi suka melayanai, dari yang suka menggunakan pendekatan
kekuasaan, berubah menjadi suka menolong menuju ke arah yang fleksibel
kolaboratis dan dialogis dan dari cara-cara yang sloganis menuju cara-cara
kerja yang realistis pragmatis (Thoha dalam Widodo, 2001). Dengan revitalitas
birokrasi publik (terutama aparatur pemerintah daerah) ini, pelayanan publik
yang lebih baik dan profesional dalam menjalankan apa yang menjadi tugas dan
kewenagan yang diberikan kepadanya dapat terwujud.
Secara teoritis sedikitnya ada tiga fungsi utama yang harus
dijalankan oleh pemerintah tanpa memandang tingkatannya, yaitu fungsi pelayan
masyarakat (publik service function), fungsi pembangunan (development
function) dan fungsi perlindungan (protection function).
Hal yang terpenting kemudian adalah sejauh mana pemerintah dapat
mengelola fungsi-fungsi tersebut agar dapat menghasilkan barang dan jasa
(pelayanan) yang ekonomis, efektif, efisien dan akuntabel kepada seluruh
masyarakat yang membutuhkannya. Selain itu, pemerintah dituntut untuk
menerapkan prinsip equity dalam menjalankan fungsi-fungsi tadi. Artinya
pelayanan pemerintah tidak boleh diberikan secara diskriminatif. Pelayanan
diberikan tanpa memandang status, pangkat, golongan dari masyarakat dan semua
warga masyarakat mempunyai hak yang sama atas pelayanan-pelayanan tersebut
sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Pemberian pelayanan publik oleh aparatur pemerintah kepada
masyarakat sebenarnya merupakan implikasi dari fungsi aparat negara sebagai
pelayan masyarakat. Karena itu, kedudukan aparatur pemerintah dalam pelayanan
umum (publik services) sangat strategis karena akan sangat menentukan
sejauhmana pemerintah mampu memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya bagi
masyarakat, yang dengan demikian akan menentukan sejauhmana negara telah
menjalankan perannya dengan baik sesuai dengan tujuan pendiriannya.
Dipandang dari sudut ekonomi, pelayanan merupakan salah satu alat
pemuas kebutuhan manusia sebagaimana halnya dengan barang. Namun pelayanan
memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dari barang. Salah satu yang
membedakannya dengan barang, sebagaimana dikemukakan oleh Gasperz (1994), adalah
outputnya yang tidak berbentuk (intangible output), tidak
standar, serta tidak dapat disimpan dalam inventori melainkan langsung
dapat dikonsumsi pada saat produksi.
Karakteristik pelayanan sebagaimana yang dikemukakan Gasperz tadi
secara jelas membedakan pelayanan dengan barang, meskipun sebenarnya kaduanya
merupakan alat pemuas kebutuhan. Sebagai suatu produk yang intangible,
pelayanan memiliki dimensi yang berbeda dengan barang yang bersifat tangible.
Produk akhir pelayanan tidak memiliki karakteristik fisik sebagaimana yang
dimiliki oleh barang. Produk akhir pelayanan sangat tergantung dari proses
interaksi yang terjadi antara layanan dengan konsumen.
Dalam konteks pelayanan publik, dikemukakan bahwa pelayanan umum
adalah mendahulukan kepentingan umum, mempermudah urusan publik, mempersingkat
waktu pelaksanaan urusan publik dan memberikan kepuasan kepada publik
(publik/umum). Senada dengan itu, Moenir (1992) mengemukakan bahwa pelayanan
publik adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang
dengan landasan faktor material melalui sistem, prosedur dan metode tertentu
dalam usaha memenuhi kepentingan orang lain sesuai dengan haknya.
Berangkat dari persoalan mempertanyakan kepuasan masyarakat terhadap
apa yang diberikan oleh pelayan dalam hal ini yaitu administrasi publik adalah
pemerintah itu sendiri dengan apa yang mereka inginkan, maksudnya yaitu
sejauhmana publik berharap apa yang akhirnya diterima mereka. Penyelenggaraan
pelayanan publik yang dilaksanakan oleh aparatur pemerintah dalam berbagai
sektor pelayanan terutama yang menyangkut pemenuhan kebutuhan hak-hak sipil dan
kebutuhan dasar masih dirasakan belum sesuai dengan tuntutan dan harapan
masyarakat. Hal ini bisa diketahui antara lain dari banyaknya pengaduan,
keluhan yang disampaikan oleh masyarakat melalui media masa maupun langsung
kepada unit pelayanan, baik menyangkut system dan prosedur pelayanan yang masih
berbelit-belit, tidak transparan, kurang informatif, kurang akomodatif dan
kurang dan kurang konsisten sehingga tidak menjamin kepastian (hukum, waktu dan
biaya) serta masih adanya praktek pungutan tidak resmi. Sejalan dengan
meningkatnya kesadaran berbangsa, bernegara dan bermasyarakat serta adanya
tuntutan reformasi penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan, pemenuhan untuk
mendapatkan pelayanan yang baik merupakan hak masyarakat dan sebaliknya bagi
aparatur berkewajiban memberikan pelayanan dan pengayoman kepada masyarakat.
Demi untuk menjamin terpenuhinya hak-hak masyarakat akan pelayanan
publik maka diperlukan suatu standar penilaian merngenai analisis kinerja
pelayanan publik yang telah dijalankan. Analisis terhadap kinerja birokrasi publik
menjadi sangat penting atau dengan kata lain memiliki nilai yang amat
strategis. Informasi mengenai kinerja aparatur dan faktor-faktor yang ikut
berpengaruh terhadap kinerja aparatur sangat penting untuk diketahui, sehingga
pengukuran kinerja aparat hendaknya dapat diterjemahkan sebagai suatu kegiatan
evaluasi untuk menilai atau melihat keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan tugas
dan fungsi yang dibebankan kepadanya. Oleh karena itu evaluasi kinerja
merupakan analisis interpretasi keberhasilan dan kegagalan pencapaian kinerja.
Menurut pendapat Drucker dalam buku “Reinventing Government”
karya David Osborne, bahwa dalam suatu organisasi perlu adanya pemisahan antara
manajemen puncak dan operasional, sehingga memungkinkan manajemen puncak
menfokuskan konsentrasi pada pengambilan keputusan dan pengarahan. Sedangkan
kegiatan operasional sebaiknya dijalankan oleh staf sendiri, dimana masing-masing
memiliki misi, sasaran, ruang lingkup, tindakan serta otonominya sendiri. Upaya
mengarahkan, membutuhkan orang yang mampu melihat seluruh visi dan peluang
serta mampu menyeimbangkan antar berbagai tuntutan yang saling bersaing untuk
mendapatkan sumber daya. Hal tersebut membutuhkan personil yang
bersungguh-sungguh fokus pada visi, misi dan melaksanakannya dengan baik.
Pemberian pelayanan publik oleh aparatur pemerintah kepada
masyarakat (publik) merupakan perwujudan dan fungsi aparatur negara sebagai
pelayan masyarakat (abdi), disamping sebagai abdi negara. Dalam konteks ini
masyarakatlah sebagai aktor utama (pelaku) pembangunan, sedangkan pemerintah
berkewajiban untuk mengarahkan, membimbing serta menciptakan suasana yang
menunjang kegiatan-kegiatan dari masyarakat tersebut. Pada kondisi ini aparatur
negara dituntut untuk lebih mampu memperbaiki kinerjanya (pelayanan prima) dan
diharapkan lebih mampu merumuskan konsep atau menciptakan iklim yang kondusif,
sehingga sumber daya pembangunan dapat menjadi pendorong percepatan terwujudnya
masyarakat yang mandiri dan sejahtera.
Kemudian bagaimana kegiatan masyarakat dan kegiatan pemerintah itu
dapat terjadi sinkronisasi yaitu saling bersentuhan, menunjang dan melengkapi
dalam satu kesatuan langkah menuju tercapainya tujuan pembangunan nasional.
Suasana tersebut dapat diciptakan jika aparatur negara memiliki semangat
pengabdian yang tinggi dan profesional dalam pemberian layanan publik. Pada
sisi lain perkembangan dan perubahan yang diakibatkan oleh globalisasi yang
mempengaruhi seluruh aspek kehidupan seperti disektor ekonomi, investasi,
barang dan jasa, menjadikan para pelaku birokrasi (aparatur) semakin ditantang
dan dituntut untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanannya kepada
masyarakat. Pada tataran inilah, kinerja birokrasi pelayanan publik menjadi
suatu isu yang semakin strategis karena perbaikan kinerja birokrasi memiliki
implikasi yang luas dalam kehidupan masyarakat, terutama dalam memperbaiki
tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Buruknya kinerja birokrasi
selama ini menjadi salah satu faktor penting yang mendorong munculnya krisis
kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.
Buruknya kinerja pelayanan publik ini antara lain dikarenakan belum
dilaksanakannya transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pelayanan
publik. Oleh karena itu pelayanan publik harus dilaksanakan secara transparan
dan akuntabel oleh setiap unit pelayanan instansi pemerintah karena kualitas
kinerja birokrasi pelayanan publik memiliki implikasi yang luas dalam mencapai
kesejahertaan masyarakat. Mengingat jenis pelayanan sangat beragam dengan sifat
dan karakterisitik yang berbeda, maka dalam memenuhi pelayanan diperlukan
pedoman yang digunakan sebagai acuan bagi instansi dilingkungan instansi kesehatan.
Puskesmas Weleri 02 yang berada di wilayah Kecamatan Weleri
merupakan penyedia jasa pelayanan kesehatan dengan wilayah kerja meliputi 6
(enam) desa yaitu Penaruban, Sambongsari, Pucuksari, Payung, Karanganom,
Karangdowo.
Mengingat kesehatan merupakan aspek penting dalam kehidupan
masyarakat, maka pemerintah harus menciptakan suatu pembangunan kesehatan yang
memadai sebagai upaya perbaikan terhadap buruknya tingkat kesehatan selama ini.
Sebagaimana yang tercantum menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan disebutkan bahwa kesehatan merupakan salah satu unsur kesejahteraan
umum, sehingga pemerintah harus melaksanakan pembangunan kesehatan yang
diarahkan untuk mempertinggi derajat kesehatan dengan mengupayakan pelayanan
kesehatan yang lebih memadai secara menyeluruh dan terpadu.
Dengan melihat data statistik memang menunjukkan peningkatan kinerja
yang bagus bagi Puskesmas Weleri 02 hal ini dilihat dari peningkatan jumlah
mengunjung dari tahun ke tahun, namun bila dilihat dari keluhan-keluhan para
pasien mengenai kekurangan akan pelayanan serta sarana dan prasarana yang
terjadi di Puskesmas Weleri 02, maka dapat dikatakan terdapat masalah dalam pelayanan yang
diberikan kepada masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas maka dalam penelitian ini diambil judul ”Analisis
Kepuasan Masyarakat Terhadap Pelayanan Publik di Pukesmas Weleri 02 Kecamatan Weleri
Kabupaten Kendal”.
B. Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1.
Bagaimana
kualitas pelayanan yang diberikan Puskesmas Weleri 02 kepada masyarakat?
2.
Sejauh
mana tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan di Puskesmas Weleri
02?
3.
Bagaimanakah
tingkat kesesuaian antara kinerja pelayanan dengan harapan atau kepentingan masyarakat pengguna
jasa layanan di Puskesmas Weleri 02?
C. Tujuan
Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1.
Menganalisis
kualitas pelayanan yang diberikan Puskesmas Weleri 02 kepada publik /
masyarakat.
2.
Mengetahui
dan menganalisis sejauh mana tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan
yang diberikan oleh Puskesmas Weleri 02.
3.
Mengetahui
kesesuaian antara kinerja pelayanan puskesmas dengan harapan atau tingkat
kepentingan masyarakat penggunan jasa pelayanan Puskesmas Weleri 02.
D. Manfaat
Penelitian
1.
Diketahui
kinerja pelayanan instansi pemerintah, khususnya Puskesmas Weleri 02 sehingga dapat
diketahui kekurangan dan kelebihan kinerja pelayanan publik bidang kesehatan.
2.
Diketahuinya
faktor-faktor atau dimensi-dimensi yang merupakan kekurangan dari pelayanan
publik tersebut. Hal ini diharapakan bisa dijadikan bahan masukan ke depan bagi
instansi pemerintah agar dapat lebih meningkatkan kinerja pelayanannya kepada
publik/masyarakat.
3.
Diharapkan
hasil penelitian ini dapat memberi kontribusi bagi kajian di bidang
administrasi publik, khususnya pelayanan kepada publik. Selanjutnya penelitian
ini dapat dijadikan dasar bagi penelitian selanjutnya.
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
A.
Kepuasan
Masyarakat
Kepuasan masyarakat merupakan faktor yang sangat penting dan
menentukan keberhasilan suatu badan usaha karena masyarakat adalah konsumen
dari produk yang dihasilkannya. Hal ini didukung oleh pernyataan Hoffman dan
Beteson (1997, p.270), yaitu : ”weithout custumers, the service firm has no
reason to exist”. Definisi kepuasan masyarakat menurut Mowen (1995, p.511):
”Costumers satisfaction is defined as the overall attitudes regarding goods
or services after its acquisition and uses”. Oleh karena itu, badan usaha
harus dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan masyarakat sehingga mencapai
kepuasan masyarakat dan lebih jauh lagi kedepannya dapat dicapai kesetiaan
masyarakat. Sebab, bila tidak dapat memenuhi kebutuhan dan kepuasan masyarakat
sehingga menyebabkan ketidakpuasan masyarakat mengakibatkan kesetiaan
masyarakat akan suatu produk menjadi luntur dan beralih ke produk atau layanan
yang disediakan oleh badan usaha yang lain.
Menurut Mendelsohn (1998, p.42) ada 2 keuntungan bagi badan usaha
dengan adanya kepuasan masyarakat, yaitu:
”First, retaining customers is
less expensive than acquiring new ones. Second, increasing competition in the
form of product, organizations, and distributing outlets means fierce pressure
for costumers. And costumners satisfaction is viable strategy to maintain
market share against the competitions”.
Untuk mengukur kepuasan masyarakat digunakan atribut yang berisi tentang
bagaimana masyarakat menilai suatu produk atau layanan yang ditinjau dari sudut pandang
pelanggan. Menurut Dulka (1994, p.41), kepuasan masyarakat dapat diukur melalui
atribut-atribut pembentuk kepuasan yang terdiri atas:
1.
Value
to price relationship. Hubungan antara harga yang
ditetapkan oleh badan usaha untuk dibayar dengan nilai/manfaat yang diperoleh
masyarakat.
2.
Product
value adalah penilaian dari kualitas produk atau
layanan yang dihasilkan suatu badan usaha.
3.
Product
benefit adalah manfaat yang diperoleh masyarakat
dari mengkosumsi produk yang dihasilkan oleh badan usaha.
4.
Product
feature adalah ciri-ciri atau karakteristik
tertentu yang mendukung fungsi dasar dari suatu produk sehingga berbeda dengan
produk yang ditawarkan pesaing.
5.
Product
design adalah proses untuk merancang tampilan dan
fungsi produk.
6.
Product
reliability and consistency adalah kekakuratan dan
keandalan produk yang dihasilkan oleh suatu badan usaha.
7.
Range
of product ar services adalah macam dari produk
atau layanan yang ditawarkan oleh suatu badan usaha.
Kemudian attribute related to service meliputi :
- Guarantee or waranty adalah jaminan atau garansi yang diberikan oleh badan usaha dan diharapkan dapat memuaskan masyarakat.
- Delivery communication adalah pesan atau informasi yang disampaikan oleh badan usaha kepada masyarakatnya.
- Complain handling adalah sikap badan usaha dalam menangani keluhankeluhan atau pengaduan.
- Resolution of problem adalah tanggapan yang diberkan badan usaha dalam membantu memecahkan masalah masyarakat yang berkaitan dengan layanan yang diterimanya.
Selanjutnya attributes related to the purchase meliput:
- Courtesy adalah kesopanan, perhatian dan keramahan pegawai
- Communication adalah kemampuan pegawai dalam melakukan komunikasi dengan masyarakat pelanggan.
- Ease or convinience of acquisition adalah kemudahan yang diberikan oleh badan usaha untuk mendapatkan produk atau layanan yang ditawarkan.
- Company reputation adalah baik tidaknya reputasi yang dimiliki oleh badan usaha dalam melayani masyarakat.
- Company competence adalah baik tidaknya kemampuan badan usaha dalam melayani masyarakat
B. Pelayanan Publik
Pelayanan publik dapat diartikan sebagai pemberian layanan
(melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada
organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan.
Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu bahwa pemerintahan pada
hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Ia tidaklah diadakan untuk
melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan
kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyaraakat mengembangkan kemampuan
dan kreativitasnya demi mencapai tujuan bersama (Rasyid, 1998). Karenanya
birokrasi publik berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan layanan
baik dan profesional.
Pelayanan publik (publik services) oleh birokrasi publik tadi
adalah merupakan salah satu perwujudan dari fungsi aparatur negara sebagai abdi
masyarakat di samping sebagai abdi negara. Pelayanan publik (publik services)
oleh birokrasi publik dimaksudkan untuk mensejahterakan masyarakat (warga
negara) dari suatu negara kesejahteraan (welfare state). Pelayanan umum
oleh Lembaga Administrasi Negara (1998) diartikan sebagai segala bentuk
kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di Pusat, di
Daerah dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara/Daerah dalam bentuk barang
dan atau jasa baik dalam rangka upaya kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka
pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pelayanan publik dengan
demikian dapat diartikan sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang
atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan
aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan.
Pelayanan publik yang profesional, artinya pelayanan publik yang dicirikan
oleh adanya akuntabilitas dan responsibilitas dari pemberi layanan (aparatur
pemerintah). Dengan ciri sebagai berikut :
- Efektif, lebih mengutamakan pada pencapaian apa yang menjadi tujuan dan sasaran;
- Sederhana, mengandung arti prosedur/tata cara pelayanan diselenggarakan secara mudah, cepat, tepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat yang meminta pelayanan;
- Kejelasan dan kepastian (transparan), mengandung akan arti adanya kejelasan dan kepastian mengenai :
a.
Prosedur/tata
cara pelayanan;
b.
Persyaratan
pelayanan, baik persyaratan teknis maupun persyaratan administratif;
c.
Unit kerja
dan atau pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan
pelayanan;
d.
Rincian
biaya/tarif pelayanan dan tata cara pembayarannya;
e.
Jadwal
waktu penyelesaian pelayanan.
- Keterbukaan, mengandung arti prosedur/tata cara persyaratan, satuan kerja/pejabat penanggungjawab pemberi pelayanan, waktu penyelesaian, rincian waktu/tarif serta hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta;
- Efisiensi, mengandung arti :
a.
Persyaratan
pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal berkaitan langsung dengan pencapaian
sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan
dengan produk pelayanan yang berkaitan;
b.
Dicegah
adanya pengulangan pemenuhan persyaratan, dalam hal proses pelayanan masyarakat
yang bersangkutan mempersyaratkan adanya kelengkapan persyaratan dari satuan
kerja/instansi pemerintah lain yang terkait.
- Ketepatan waktu, kriteria ini mengandung arti pelaksanaan pelayanan masyarakat dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan;
- Responsif, lebih mengarah pada daya tanggap dan cepat menanggapi apa yang menjadi masalah, kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang dilayani;
- Adaptif, cepat menyesuaikan terhadap apa yang menjadi tuntutan, keinginan dan aspirasi masyarakat yang dilayani yang senantiasa mengalami tumbuh kembang.
Secara teoritis sedikitnya ada tiga fungsi utama yang harus
dijalankan oleh pemerintah tanpa memandang tingkatannya, yaitu fungsi pelayan
masyarakat (publik service function), fungsi pembangunan (development
function) dan fungsi perlindungan (protection function). Hal yang
terpenting kemudian adalah sejauh mana pemerintah dapat mengelola fungsi-fungsi
tersebut agar dapat menghasilkan barang dan jasa (pelayanan) yang ekonomis,
efektif, efisien dan akuntabel kepada seluruh masyarakat yang membutuhkannya.
Selain itu, pemerintah dituntut untuk menerapkan prinsip equity dalam
menjalankan fungsi-fungsi tadi. Artinya pelayanan pemerintah tidak boleh
diberikan secara diskriminatif. Pelayanan diberikan tanpa memandang status,
pangkat, golongan dari masyarakat dan semua warga masyarakat mempunyai hak yang
sama atas pelayanan-pelayanan tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Meskipun pemerintah mempunyai fungsi-fungsi sebagaimana di atas,
namun tidak berarti bahwa pemerintah harus berperan sebagai monopolist dalam
pelaksanaan seluruh fungsi-fungsi tadi. Beberapa bagian dari fungsi tadi bisa
menjadi bidang tugas yang pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada pihak swasta
ataupun dengan menggunakan pola kemitraan (partnership), antara
pemerintah dengan swasta untuk mengadakannya. Pola kerjasama antara pemerintah
dengan swasta dalam memberikan berbagai pelayanan kepada masyarakat tersebut
sejalan dengan gagasan reinventing government yang dikembangkan Osborne
dan Gaebler (1992).
Namun dalam kaitannya dengan sifat barang privat dan barang publik murni,
maka pemerintah adalah satu-satunya pihak yang berkewajiban menyediakan barang
publik murni, khususnya barang publik yang bernama rules atau aturan
(kebijakan publik). Barang publik murni yang berupa aturan tersebut tidak
pernah dan tidak boleh diserahkan penyediaannya kepada swasta. Karena bila hal
itu dilakukan maka di dalam aturan tersebut akan melekat
kepentingan-kepentingan swasta yang membuat aturan, sehingga aturan menjadi
penuh dengan vested interest dan menjadi tidak adil (unfair rule).
Karena itu peran pemerintah yang akan tetap melekat di sepanjang keberadaannya
adalah sebagai penyedia barang publik murni yang bernama aturan.
Pemberian pelayanan publik oleh aparatur pemerintah kepada
masyarakat sebenarnya merupakan implikasi dari fungsi aparat negara sebagai
pelayan masyarakat. Karena itu, kedudukan aparatur pemerintah dalam pelayanan
umum (publik services) sangat strategis karena akan sangat menentukan
sejauhmana pemerintah mampu memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya bagi
masyarakat, yang dengan demikian akan menentukan sejauhmana negara telah
menjalankan perannya dengan baik sesuai dengan tujuan pendiriannya.
Berangkat dari persoalan mempertanyakan kepuasan masyarakat terhadap
apa yang diberikan oleh pelayan dalam hal ini yaitu administrasi publik adalah
pemerintah itu sendiri dengan apa yang mereka inginkan, maksudnya yaitu
sejauhmana publik berharap apa yang akhirnya diterima mereka.
Dengan demikian dilakukan penilaian tentang sama tidaknya antara
harapan dengan kenyataan, apabila tidak sama maka pemerintah diharapkan dapat
mengoreksi keadaan agar lebih teliti untuk peningkatan kualitas pelayanan
publik. Selanjutnya dipertanyakan apakah terhadap kehendak masyarakat, seperti
ketentuan biaya yang tepat, waktu yang diperhitungkan dan mutu yang dituntut
masyarakat telah dapat terpenuhi. Andaikata tidak terpenuhi, pemerintah
diharapkan mengkoreksi keadaan, sedangkan apabila terpenuhi dilanjutkan pada
pertanyaan berikutnya, tentang berbagai informasi yang diterima masyarakat
berkenaan dengan situasi dan kondisi, serta aturan yang melengkapinya.
Penilaian terhadap kualitas pelayanan tidak dapat lepas dari
kemampuan pegawai dalam pemberian pelayanan serta penyediaan fasilitas fisik.
Hal ini sesuai dengan teori “The triangle of balance in service quality:
dari Morgan dan Murgatroyd, bahwa perlu dipertahankan keseimbangan dari ketiga
komponen (interpersonal component, procedures environment/process component,
and technical/professional component) guna menghasilkan pelayanan yang
berkualitas. Memang pada dasarnya ada 3 (tiga) ketentuan pokok dalam melihat
tinggi rendahnya suatu kualitas pelayanan publik, yaitu sebagaimana dalam
gambar 2.1 tersebut menjelaskan bahwa dalam melihat tinggi rendahnya kualitas
pelayanan publik perlu diperhatikan adanya keseimbangan antara:
1. Bagian antar pribadi yang melaksanakan (Inter
Personal Component);
2. Bagian proses dan lingkungan yang mempengaruhi (Process
and Environment);
3.
Bagian
profesional dan teknik yang dipergunakan (Professional and Technical).
Gambar 2.1
Segitiga Keseimbangan
dalam Kualitas Pelayanan
Bagian Antar Pribadi yang
Melaksanakan
|
|
Sumber: Warsito Utomo, 1997
Model tersebut merupakan suatu segitiga sama sisi dimana puncaknya
adalah interpersonal component dari suatu pelayanan, sedangkan pada sisi sebelah
kiri dari segitiga tersebut didapati konteks fisik dan prosedur serta komponen
proses. Pada sisi sebelah kanan didapatkan komponen teknik atau profesionalitas
dalam menyampaikan pelayanan. Asumsi dari model ini adalah perlu dipertahankan
keseimbangan antara ketiga komponen tersebut di dalam menyediakan suatu
pelayanan yang baik. Apabila terlalu menekankan pada proses atau prosedur, akan
memberikan kesan pelayanan yang berbelit-belit. Apabila terlalu menekankan pada
komponen interpersonal akan menimbulkan impresi bahwa penyedia jasa pelayanan
kurang memperhatikan profesional pelayanan, dan apabila terlalu menekankan pada
aspek profesional dan teknis pelayanan akan memberikan kesan bahwa pelayanan
dilakukan secara profesional namun tidak ada perhatian khusus secara
individual.
Di dalam Total Quality Service (TQS) dapat didefinisikan
sebagai system manajerial strategik dan integrative yang melibatkan semua
manajer dan karyawan, serta menggunakan metode-metode kualitatif dan
kuantitatif untuk memperbaiki secara berkesinambungan proses-proses organisasi,
agar dapat memenuhi dan melebihi kebutuhan, keinginan, dan harapan pelanggan
(Ratminto, 2000 : 54). Manajemen pelayanan yang baik hanya akan dapat
diwujudkan bila penguatan posisi tawar pengguna jasa pelayanan mendapatkan
prioritas utama. Dengan demikian, pengguna jasa diletakkan dipusat yang
mendapatkan dukungan dari (a) sistem pelayanan pelayanan yang mengutamakan
kepentingan masyarakat pengguna jasa, (b) kultur pelayanan dalam organisasi
penyelenggara pelayanan, dan (c) sumber daya manusia yang berorientasi pada
kepentingan pengguna jasa. Penguatan posisi yang dimaksud untuk menyeimbangkan
hubungan antara penyelenggara pelayanan dan pengguna jasa pelayanan ini juga
harus diimbangi dengan berfungsinya ’mekanisme voice’ yang diperankan oleh
media, LSM, organisasi profesi dan ombudsman atau lembaga banding (Ratminto,
2005 : 53).
C.
Kualitas
Pelayanan Publik
Kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan
produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi
harapan. Kata kualitas sendiri mengandung banyak pengertian, beberapa contoh
pengertian kualitas menurut Fandy Tjiptono (1995) adalah:
1.
Kesesuaian
dengan persyaratan;
2.
Kecocokan
untuk pemakaian;
3.
Perbaikan
berkelanjutan;
4.
Bebas dari
kerusakan/cacat;
5.
Pemenuhan
kebutuhan pelangggan sejak awal dan setiap saat;
6.
Melakukan
segala sesuatu secara benar;
7.
Sesuatu
yang bisa membahagiakan pelanggan.
Pada prinsipnya pengertian-pengertian tersebut diatas dapat
diterima. Yang menjadi pertanyaan adalah ciri-ciri atau atribut-atribut apakah
yang ikut menentukan kualitas pelayanan publik tersebut. Ciri-ciri atau
atribut-atribut tersebut yaitu antara lain:
1.
Ketepatan
waktu pelayanan, yang meliputi waktu tunggu dan waktu proses;
2.
Akurasi
pelayanan, yang meliputi bebas dari kesalahan;
3.
Kesopanan
dan keramahan dalam memberikan pelayanan;
4.
Kemudahan
mendapatkan pelayanan, misalnya banyaknya petugas yang melayani dan banyaknya
fasilitas pendukung seperti komputer;
5.
Kenyamanan
dalam memperoleh pelayanan, berkaitan dengan lokasi, ruang tempat pelayanan,
tempat parkir, ketersediaan informasi dan lain-lain;
6.
Atribut
pendukung pelayanan lainnya seperti ruang tunggu ber-AC, kebersihan dan
lain-lain.
Untuk dapat menilai sejauh mana kualitas pelayanan publik yang
diberikan oleh aparatur pemerintah, perlu ada kriteria yang menunjukkan apakah
suatu pelayanan publik yang diberikan dapat dikatakan baik atau buruk. Zeithaml
(1990) mengemukakan dalam mendukung hal tersebut, ada 10 (sepuluh) dimensi yang
harus diperhatikan dalam melihat tolok ukur kualitas pelayanan publik, yaitu
sebagai berikut:
1.
Tangible, terdiri atas fasilitas fisik, peralatan, personil dan komunikasi;
2.
Realiable, terdiri dari kemampuan unit pelayanan dalam menciptakan pelayanan
yang dijanjikan dengan tepat;
3.
Responsiveness, kemauan untuk membantu konsumen bertanggung jawab terhadap
kualitas pelayanan yang diberikan;
4.
Competence, tuntutan yang dimilikinya, pengetahuan dan ketrampilan yangm baik
oleh aparatur dalam memberikan pelayanan;
5.
Courtesy, sikap atau perilaku ramah, bersahabat, tanggap terhadap keinginan
konsumen serta mau melakukan kontak atau hubungan pribadi;
6.
Credibility, sikap jujur dalam setiap upaya untuk menarik kepercayaan
masyarakat;
7.
Security, jasa pelayanan yang diberikan harus bebas dari berbagai bahaya dan
resiko;
8.
Access, terdapat kemudahan untuk mengadakan kontak dan pendekatan;
9.
Communication, kemauan pemberi pelayanan untuk mendengarkan suara, keinginan atau
aspirasi pelanggan, sekaligus kesediaan untuk selalu menyampaikan informasi
baru kepada masyarakat;
10.
Understanding
the customer, melakukan segala usaha untuk
mengetahui kebutuhan pelanggan.
Organisasi pelayanan publik mempunyai ciri public accuntability,
dimana setiap warga negara mempunyai hak untuk mengevaluasi kualitas pelayanan
yang mereka terima. Adalah sangat sulit untuk menilai kualitas suatu pelayanan
tanpa mempertimbangkan peran masyarakat sebagai penerima pelayanan dan aparat
pelaksana pelayanan itu. Evaluasi yang berasal dari pengguna pelayanan,
merupakan elemen pertama dalam analisis kualitas pelayanan publik. Elemen kedua
dalam analisis adalah kemudahan suatu pelayanan dikenali baik sebelum dalam
proses atau setelah pelayanan itu diberikan.
Menurut Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perbaikan dan
Peningkatan Mutu Pelayanan, dinyatakan bahwa hakekat pelayanan umum adalah:
- Meningkatkan mutu produktivitas palaksanaan tugas dan fungsi instansi pemerintah di bidang pelayanan umum;
- Mendorong upaya mengefektifkan sistem dan tata laksana pelayanan, sehingga pelayanan umum dapat diselenggarakan secara berdaya guna dan berhasil guna;
- Mendorong tumbuhnya kreativitas, prakarsa dan peran serta masyarakat dalam pembangunan serta dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas.
Oleh karena itu dalam pelayanan publik harus mengandung unsur-unsur
dasar sebagai berikut:
- Hak dan kewajiban bagi pemberi maupun pelayanan umum harus jelas dan diketahui secara pasti oleh masing-masing pihak;
- Pengaturan setiap bentuk pelayanan umum harus disesuaikan dengan kondisi kebutuhan dan kemampuan masyarakat untuk membayar berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dengan tetap berpegang teguh pada efisiensi dan efektivitas;
- Kualitas, proses dan hasil pelayanan umum harus diupayakan agar dapat memberi keamanan, kenyamanan, kepastian hukum yang dapat dipertanggungjawabkan;
- Apabila pelayanan umum yang diselenggarakan oleh pemerintah terpaksa harus mahal, maka instansi pemerintah yang bersangkutan berkewajiban memberi peluang kepada masyarakat untuk ikut menyelenggarakannya.
Beberapa peneliti pernah melakukan penelitian bahwa ada 7 (tujuh)
hal yang harus dihindari oleh pemerintah dalam melakukan pelayanan publik,
ketidaktahuan pemerintah akan hal ini menyebabkan timbulnya jurang pemisah
antara masyarakat dengan pemerintahnya, yaitu:
- Apatis;
- Menolak berurusan;
- Bersikap dingin;
- Memandang rendah;
- Bekerja bagaikan robot;
- Terlalu ketat pada prosedur;
- Seringnya melempar urusan kepada pihak lain.
Sementara itu, peneliti lain pernah melakukan penelitian untuk
mengetahui faktor buruknya kualitas pelayanan publik pada birokrasi pemerintah,
yang lebih banyak disebabkan:
- Gaji rendah;
- Sikap mental aparat pemerintah;
- Kondisi ekonomi buruk pada umumnya.
Seperti telah dikemukakan sebelumnya servqual dari Zeithaml dkk
walaupun berasal dari dunia bisnis tetapi dapat dipakai untuk pelayanan sector
publik. Tidak bisa dipungkiri servqual dari Zeithaml dkk tersebut banyak
dipakai dan menjadi inspirasi baik untuk kajian teoritis maupun kegiatan
praktis. Walaupun demikian konsep tersebut tidak sepenuhnya dapat diterapkan
untuk pelayanan sektor publik. Ada
beberapa item yang perlu disinkronkan dengan kondisi pelayanan sektor publik.
Kalau servqual berasal dari dunia bisnis dan dilakukan oleh dunia usaha
pada para pelanggannya, maka pelayanan publik instansi pemerintah tentu saja adalah
pelayanan yang diberikan oleh aparatur atau instansi atau unit pelayanan dari
birokrasi pemerintah sesuai tata aturan dalam instansi atau unit pelayanan
publik agar dapat dilaksanakan sesuai harapan, pemerintah lazimnya mengeluarkan
kebijakan atau peraturan tentang pelayanan publik tersebut.
Menurut Zeithaml dkk, keputusan seseorang konsumen untuk
mengkonsumsi atau tidak mengkonsumsi suatu barang atau jasa dipengaruhi oleh
berbagai faktor antara lain adalah persepsinya terhadap kualitas pelayanan.
Dengan kata lain, baik buruknya kualitas pelayanan yang diberikan oleh provider
tergantung dari persepsi konsumen atas pelayanan yang diberikan. Pernyataan
ini menunjukkan adanya interaksi yang kuat antara “kepuasan konsumen” dengan
“kualitas pelayanan “.
Zeithaml, Parasuraman dan Berry
dalam bukunya “Delivering Quality Service Balancing Customer Perceptions and
Expectetions” (1990) menyebutkan bahwa kualitas pelayanan yang baik adalah
pertemuan atau melebihi apa yang diharapkan konsumen dari pelayanan yang diberikan.
Tinggi rendahnya kualitas pelayanan tergantung pada kinerja yang diberikan
dalam konteks apa yang mereka harapkan.
Berdasarkan persepsi konsumen, servqual dapat didefinisikan sebagai
tingkat kesenjangan antara harapan-harapan atau keinginan-keinginan konsumen
dengan kenyataan yang mereka alami (Zeithaml, et.al,1990:19).
Disebutkan selanjutnya bahwa harapan konsumen terhadap kualitas
pelayanan sangat dipengaruhi oleh informasi yang diperolehnya dari mulut ke
mulut, kebutuhan-kebutuhan konsumen itu sendiri, pengalaman masa lalu dalam
mengkonsumsi suatu produk, dan komunikasi eksternal melalui media.
Menurut Zeithaml-Parasuraman-Berry untuk mengetahui kualitas
pelayanan yang dirasakan secara nyata oleh konsumen, ada indikator ukuran
kepuasan konsumen yang terletak pada 5 dimensi kualitas pelayanan menurut apa
yang dikatakan konsumen. Kelima dimensi servqual itu mencakup beberapa sub
dimensi sebagai berikut:
- Tangibles (kualitas pelayanan yang berupa sarana fisik perkantoran, komputerisasi administrasi, ruang tunggu dan tempat informasi). Dimensi ini berkaitan dengan kemodernan peralatan yang digunakan, daya tarik fasilitas yang digunakan, kerapian petugas serta kelengkapan peralatan penunjang (pamlet atau flow chart).
- Reliability (kemampuan dan keandalan untuk menyediakan pelayanan yang terpercaya). Dimensi berkaitan dengan janji menyelesaikan sesuatu seperti diinginkan, penanganan keluhan konsumen, kinerja pelayanan yang tepat, menyediakan pelayanan sesuai waktu yang dijanjikan serta tuntutan pada kesalahan pencatatan.
- Responsiveness (kesanggupan untuk membantu dan menyediakan pelayanan secara cepat dan tepat, serta tanggap terhadap keinginan konsumen). Dimensi responsiveness mencakup antara lain : pemberitahuan petugas kepada konsumen tentang pelayanan yang diberikan, pemberian pelayanan dengan cepat, kesediaan petugas memberi bantuan kepada konsumen serta petugas tidak pernah merasa sibuk untuk melayani permintaan konsumen.
- Assurance (kemampuan dan keramahan serta sopan sanun pegawai dalam meyakinkan kepercayaan konsumen). Dimensi assurance berkaitan dengan perilaku petugas yang tetap percaya diri pada konsumen, perasaan aman konsumen dan kemampuan (ilmu pengetahuan) petugas untuk menjawab pertanyaan konsumen.
- Emphaty (sikap tegas tetapi penuh perhatian dari pegawai terhadap konsumen). Dimensi emphaty memuat antara lain : pemberian perhatian individual kepada konsumen, ketepatan waktu pelayanan bagi semua konsumen, peusahaan memiliki petugas yang memberikan perhatian khusus pada konsumen, pelayanan yang melekat di hati konsumen dan petugas yang memahami kebutuhan spesifik dari pelanggannya.
Selanjutnya penulis dalam mengumpulkan, mengolah dan menganalisis
data penelitian menggunakan beberapa dimensi/atrubut atau kriteria mengenai
kualitas pelayanan yang telah dikembangkan oleh beberapa ahli administrasi. Hal
ini dimaksudkan untuk mempermudah menjabarkan 14 indikator dalam keputusan
menteri pendayagunaan aparatur negara di atas ke dalam sub-sub indikator
sehingga nantinya akan mempermudah pemahaman para responden dalam memberikan
tanggapan atas pertanyaan yang berkaitan dengan indikator-indikator tersebut
sebagai untuk dasar pengukuran Indeks Kepuasan Masyarakat. Kemudian Ke-14
indikator yang akan dijadikan instrumen pengukuran berdasarkan keputusan
menteri pendayagunaan aparatur negara di atas adalah sebagai berikut:
1.
Prosedur pelayanan,
yaitu kemudahan tahapan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat
dilihat dari sisi kesederhanaan alur pelayanan.
2.
Persyaratan
pelayanan, yaitu persyaratan teknis dan administratif yang diperlukan
untuk mendapatkan pelayanan sesuai dengan jenis pelayanannya.
3.
Kejelasan
petugas pelayanan, yaitu keberadaan dan kepastian petugas yang
memberikan pelayanan (nama, jabatan, serta kewenangan dan tanggungjawab).
4.
Kedisiplinan
petugas, yaitu kesungguhan petugas dalam memberikan pelayanan terutama
terhadap konsistensi waktu kerja sesuai ketentuan yang berlaku.
5.
Tanggungjawab
petugas pelayanan, yaitu kejelasan wewenang dan tanggung jawab dalam
penyelenggaraan dan penyelesaian pelayanan.
6.
Kemampuan
petugas pelayanan, yaitu tingkat keahlian dan keterampilan yang dimiliki
petugas dalam memberikan/menyelesaikan pelayanan kepada masyarakat.
7.
Kecepatan
pelayanan, yaitu target waktu pelayanan dapat diselesaikan dalam waktu
yang telah ditentukan oleh unit penyelenggara pelayanan.
8.
Keadilan
mendapatkan pelayanan, yaitu pelaksanaan pelayanan dengan tidak
membedakan golongan/status masyarakat yang dilayani.
9.
Kesopanan
dan keramahan petugas, yaitu sikap dan perilaku petugas dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat secara sopan dan ramah serta saling menghargai dan
menghormati.
10.
Kewajaran
biaya pelayanan, yaitu keterjangkauan masyarakat terhadap bsarnya biaya
yang ditetapkan oleh unit pelayanan.
11.
Kepastian
biaya pelayanan, yaitu kesesuaian antara biaya yang dibayarkan dengan
biaya yang telah ditetapkan.
12.
Kepastian
jadwal pelayanan, yaitu pelaksanaan waktu pelayanan, sesuai dengan
ketentuan yang telah ditetapkan.
13.
Kenyamanan
lingkungan, yaitu kondisi sarana dan prasarana pelayanan yang bersih,
rapi dan teratur sehingga dapat memberikan rasa nyaman kepada penerima
pelayanan.
14.
Keamanan
pelayanan, yaitu terjaminnnya tingkat keamanan lingkungan unit
penyelenggara pelayanan ataupun sarana yang digunakan, sehingga masyarakat
merasa tenang untuk mendapatkan pelayanan terhadap resiko-resiko yang
diakibatkan dari pelaksanaan pelayanan.
D. Kerangka Pemikiran
Penelitian ini dilatarbelakangi kenyataan bahwa adanya peningkatan
kunjungan dari masyarakat di Puskesmas Weleri 02 terutama dari kategori
masyarakat umum. Hal ini mengindikasikan adanya peningkatan kualitas pelayanan
dalam bidang kesehatan, karena anggapan bahwa Puskesmas adalah tempat
pengobatan masyarakat kelas menengah kebawah mulai bergeser bahwa puskesmas
adalah alternatif pertama masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.
Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis
sejauh mana peningkatan kualitas pelayanan kesehatan yang telah diberikan
kepada masyarakat pengguna jasa pelayanan kesehatan di Puskesmas Weleri 02 yang
ditunjukkan dalam indeks kepuasan masyarakat.
Adapun kerangka alur berpikir yang diajukan dalam penelitian ini
adalah:
Gambar 2.3
Kerangka Alur Berpikir
Penelitian ini bertitik tolak pada kondisi dimana diduga kualitas
pelayanan kesehatan di Puskesmas Weleri 02 sudah seperti yang diharapkan oleh
para pengguna jasa layanan, hal ini dilihat dari tingkat kepuasan masyarakat
yang dilihat dari 14 indikator sesuai dengan Kep.MENPAN No. 25 Tahun 2004.
keempat belas indikator tersebut digunakan untuk mengukur indeks kepuasan
konsumen.
BAB III
METODE
PENELITIAN
A.
Perspektif
Pendekatan Penelitian
Sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dikemukakan di depan,
maka penelitian ini menggunakan rancangan atau desain penelitian deskriptif
kualitatif yaitu untuk mengetahui indeks kepuasan masyarakat dari pelayanan di
Puskesmas Weleri 02, Kecamatan Weleri, Kabupaten Kendal.
B. Lokasi dan Obyek Penelitian
Lokasi penelitian ini tepatnya di Puskesmas Weleri 02, Kecamatan
Weleri, Kabupaten Kendal. Sebagai Instansi pelayan publik dalam bidang
kesehatan. Dan yang dijadikan sebagai obyek penelitian ini adalah pasien yang
berobat dan berkunjung ke Puskesmas Weleri 02.
C.
Jenis
dan Sumber Data
- Jenis Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data
sekunder, yang berbentuk kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif berupa
angka-angka, skala-skala, tabel-tabel, formula dan sebagainya yang menggunakan
perhitungan matematis.
- Sumber Data
Sumber data yang mendukung jawaban permasalahan dalam penelitian
dengan cara sebagai berikut :
a.
Sumber
Data Primer
Yaitu
sumber data yang diperoleh dari sumber primer, diperoleh melalui responden
yaitu pasien yang memberikan data berupa kata-kata atau kalimat pernyataan atau
memberikan jawaban dalam kuesioner di Puskesmas Weleri 02 yang dijadikan
sampel.
b.
Sumber
Data Sekunder
Yaitu
data yang diperoleh dari catatan-catatan, buku, makalah, monografi dan
lain-lain terutama yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. Data yang
lain juga didapat dari arsip, sebagai sumber data dalam bentuk dokumen, data
statistik dan naskah-naskah yang telah tersedia dalam lembaga atau instansi
yang berhubungan dengan penelitian ini.
D.
Instrumen
Penelitian
Instrumen penelitian yang akan digunakan adalah kuesioner.
Kuesioner penelitian kemudian dibagi kepada 30 orang responden dibuat dalam
bentuk rating scale sesuai dengan skala pengukuran yang dipakai. Jumlah
responden ini adalah sesuai dengan jumlah responden yang dipersyaratkan dalam Kepmen
PAN No. 25 tahun 2004.
E.
Populasi
dan Teknik Pengambilan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah pasien yang berobat ke
Puskesmas Weleri 02. Sedangkan unsur diambil secara accidental sampling,
yaitu pasien yang unsur untuk berobat ke Puskesmas saat ditemui oleh peneliti.
Sampel yang dijadikan responden dalam penelitian ini sebanyak 30 responden.
F.
Teknik
Analisa Data
Dalam
penelitian ini teknik analisis datanya dilakukan dengan menggunakan nilai
Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) yang dihitung dengan menggunakan nilai
rata-rata tertimbang masing-masing unsure pelayanan. Dalam penghitungan IKM
terdapat 14 unsur atau unsur yang dikaji. Setiap unsur pelayanan mempunyai
penimbang yang sama dengan rumus sebagai berikut:
Nilai Bobot rata-rata tertimbang =
Untuk memperoleh nilai IKM
dipergunakan rumus:
IKM =
Guna mempermudah interpretasi nilai IKM yang berkisar 25 –
100, maka hasil penilaian masing-masing dikalikan 150.
Nilai IKM Unit Pelayanan x 25
Hasil perhitungan tersebut di atas
dikategorikan sebagai berikut
No.
|
Nilai
Interval
|
Konversi
IKM
|
Mutu
Pelayanan
|
Kinerja
Unit Pelayanan
|
1
|
1,00
– 1,75
|
25
– 43,75
|
D
|
Sangat
tidak bagus
|
2
|
1,75
– 2,50
|
43,76
– 62,50
|
C
|
Tidak
bagus
|
3
|
2,50
– 3,25
|
62,51
– 81,25
|
B
|
Bagus
|
4
|
3,25
– 4,00
|
81,26
– 100,00
|
A
|
Sangat
bagus
|
Sementara itu, untuk menentukan kinerja setiap sub indikator
adalah dengan menetukan intervalnya terlebih dahulu. Rumus yang dipakai adalah:
Keterangan:
I : Interval/Rentang
Kelas
Range : Skor
Tertinggi – Skor Terendah
SK : Banyaknya kelas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar