SEJARAH
AHLUS SUNNAH
Penamaan istilah Ahlus Sunnah ini sudah ada sejak
generasi pertama islam pada kurun yang dimuliakan Allah Subhanahu wa Ta'ala,
yaitu generasi Sahabat, Tabi'in, dan Tabi'ut Tabi'in.
'Abdullah bin 'Abbas Radhiyallahu Anhu berkata
ketika menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
tPöqt
Ùuö;s?
×nqã_ãr
uqó¡n@ur
×nqã_ãr
4
$¨Br'sù
tûïÏ%©!$#
ôN¨uqó$#
öNßgèdqã_ãr
Länöxÿx.r&
y֏t/
öNä3ÏY»yJÎ)
(#qè%räsù
z>#xyèø9$#
$yJÎ/
÷LäêZä.
tbrãàÿõ3s?
ÇÊÉÏÈ
"`Pada
hari itu ada wajah yang putih berseri,dan ada pula wajah yang hitam
muram.adapun orang-orang yang berwajah hitam muram (kepada mereka dikatakan) :
mengapa kamu kafir setelah beriman? karena itu rasakanlah adzab disebabkan
kekafiran itu`" (QS. Ali-Imron: 106)
"Adapun orang yang putih wajahnya mereka adalah
Ahlus Sunnah wal Jama'ah, adapun orang yang hitam wajahnya mereka adalah Ahlul
Bid'ah dan sesat."
Maknanya: “…dan sesungguhnya ummat
ini akan terpecah menjadi 73 golongan, 72 di antaranya di
neraka dan hanya satu yang di surga yaitu al-Jama’ah”. (H.R. Abu Dawud)
Akal adalah syahid (saksi dan bukti)
akan kebenaran syara’. Inilah sebenarnya yang dilakukan oleh ulama tauhid atau
ulama al-kalam (teologi). Yang mereka lakukan adalah pemaduan antara kebenaran
syara’ dengan kebenaran akal,mengikuti jejak nabi Ibrahim -seperti dikisahkan
al-Quran- ketika membantah raja Namrud dan kaumnya, di mana beliau menundukkan
mereka dengan dalil akal. Fungsi akal dalam agama adalah sebagai saksi bagi
kebenaran syara’ bukan sebagai peletak dasar bagi agama itu sendiri. Berbeda
dengan para filosof yang berbicara tentang Allah, malaikat dan banyak hal
lainnya yang hanya berdasarkan penalaran akal semata. Mereka menjadikan akal
sebagai dasar agama tanpa memandang ajaran yang dibawa para nabi. Tuduhan kaum
Musyabbihah; kaum yang sama sekali tidak memfungsikan akal dalam agama,
terhadap Ahlussunnah sebagai ’Aqlaniyyun (kaum yang hanya mengutamakan akal)
atau sebagai kaum Mu’tazilah atau Afrakh al-Mu’tazilah (anak bibitan kaum
Mu’tazilah) dengan alasan karena lebih mengedepankan akal, adalah tuduhan yang
salah alamat. Ini tidak ubahnya seperti seperti kata pepatah arab “Qabihul
Kalam Silahulliam” (kata-kata yang jelek adalah senjata para pengecut).
Secara singkat namun komprehensif, kita ketengahkan bahasan tentan Ahlissunnah sebagai al-Firqah an-Najiyah (golongan yang selamat), asal-usulnya, dasar-dasar ajaran dan sistematikanya.
Secara singkat namun komprehensif, kita ketengahkan bahasan tentan Ahlissunnah sebagai al-Firqah an-Najiyah (golongan yang selamat), asal-usulnya, dasar-dasar ajaran dan sistematikanya.
PEMBAHASAN
Sejarah mencatat bahwa di kalangan
umat Islam dari mulai abad-abad permulaan (mulai dari masa khalifah sayyidina
Ali ibn Abi Thalib) sampai sekarang terdapat banyak firqah (golongan) dalam
masalah aqidah yang faham satu dengan lainnya sangat berbeda bahkan saling
bertentangan. Ini fakta yang tak dapat dibantah. Bahkan dengan tegas dan
gamblang Rasulullah telah menjelaskan bahwa umatnya akan pecah menjadi 73
golongan.
Semua ini tentunya dengan kehendak
Allah dengan berbagai hikmah tersendiri, walaupun tidak kita ketahui secara
pasti. Dia-lah yang Maha Mengetahui segala sesuatu. Namun Rasulullah juga telah
menjelaskan jalan selamat yang harus kita tempuh agar tidak terjerumus dalam
kesesatan. Yaitu dengan mengikuti apa yang diyakini oleh al-Jama’ah; mayoritas
umat Islam. Karena Allah telah menjanjikan kepada Rasul-Nya, Muhammad , bahwa
umatnya tidak akan tersesat selama mereka berpegang teguh kepada apa yang
disepakati oleh kebanyakan mereka. Allah tidak akan menyatukan mereka dalam
kesesatan.
Kesesatan akan menimpa mereka yang
menyempal dan memisahkan diri dari keyakinan mayoritas. Mayoritas umat Muhammad
dari dulu sampai sekarang adalah Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Mereka adalah para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam Ushul
al-I’tiqad (dasar-dasar aqidah); yaitu Ushul al-Iman al-Sittah (dasar-dasar
iman yang enam) yang disabdakan Rasulullah dalam hadits Jibril:
Maknanya: “Iman adalah engkau
mempercayai Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab- kitab-Nya, rasul-rasul-Nya,
hari akhir serta Qadar (ketentuan Allah); yang baik maupun buruk”.(H.R. al
Bukhari dan Muslim)
Perihal al-Jama’ah dan pengertiannya
sebagai mayoritas umat Muhammad yang tidak lain adalah Ahlussunnah Wal Jama’ah
tersebut dijelaskan oleh Rasulullah dalam sabdanya :
Maknanya: “Aku berwasiat kepada
kalian untuk mengikuti sahabat-sahabatku, kemudian mengikuti orang-orang
yang datang setelah mereka, kemudian mengikuti yang datang setelah
mereka“. Dan termasuk rangkaian hadits ini: “Tetaplah bersama al-Jama’ah dan jauhi
perpecahan karena syaitan akan menyertai orang yang sendiri. Dia (syaitan) dari
dua orang akan lebih jauh, maka barang siapa menginginkan tempat lapang di
surga hendaklah ia berpegang teguh pada (keyakinan) al-Jama’ah”. (H.R. at-Turmudzi,
ia berkata hadits ini Hasan Shahih juga hadits ini dishahihkan oleh al-Hakim).
Al-Jama’ah dalam hadits ini tidak
boleh diartikan dengan orang yang selalu menjalankan shalat dengan berjama’ah,
jama'ah masjid tertentu atau dengan arti ulama hadits, karena tidak sesuai
dengan konteks pembicaraan hadits ini sendiri dan bertentangan dengan
hadits-hadits lain. Konteks pembicaraan hadits ini jelas mengisyaratkan bahwa yang
dimaksud al-Jama’ah adalah mayoritas umat Muhammad dari sisi kuantitas.
Penafsiran ini diperkuat juga oleh hadits yang kita tulis di awal pembahasan.
Yaitu hadits riwayat Abu Dawud yang
merupakan hadits Shahih Masyhur, diriwayatkan oleh lebih dari 10 orang sahabat.
Hadits ini memberi kesaksian akan kebenaran
mayoritas umat Muhammad bukan kebenaran firqah-firqah yang menyempal. Jumlah
pengikut firqah-firqah yang menyempal ini, dibanding pengikut Ahlussunnah Wal
Jama’ah sangatlah sedikit.
Selanjutnya di kalangan Ahlussunnah
Wal Jama’ah dikenal istilah “ulama salaf”. Mereka adalah orang-orang yang
terbaik dari kalangan Ahlusssunnah Wal Jama’ah yang hidup pada 3 abad pertama
hijriyah sebagaimana sabda nabi:
Maknanya: “Sebaik-baik abad adalah
abadku kemudian abad setelah mereka kemudian abad setelah mereka”.(H.R.
Tirmidzi)
Pada masa ulama salaf ini, di
sekitar tahun 260 H, mulai menyebar bid’ah Mu’tazilah, Khawarij, Musyabbihah
dan lainnya dari kelompok-kelompok yang membuat faham baru. Kemudian dua imam
agung; Abu al-Hasan al-Asy’ari (W. 324 H) dan Abu Manshur al-Maturidi (W. 333
H) –semoga Allah meridlai keduanya– dating dengan menjelaskan aqidah
Ahlussunnah Wal Jama’ah yang diyakini para sahabat nabi dan orang-orang yang
mengikuti mereka, dengan mengemukakan dalil-dalil naqli (nash-nash al-Quran dan
Hadits) dan dalil-dalil aqli (argumen rasional) disertai dengan
bantahan-bantahan terhadap syubhat-syubhat (sesuatu yang dilontarkan untuk
mengaburkan hal yang sebenarnya) Mu’tazilah, Musyabbihah, Khawarij tersebut di
atas dan ahli bid’ah lainnya. Sehingga Ahlussunnah dinisbatkan kepada keduanya.
Mereka; Ahlussunnah Wal Jamaah akhirnya dikenal dengan nama al- Asy’ariyyun
(para pengikut imam Abu al-Hasan Asy’ari) dan al-Maturidiyyun (para pengikut
imam Abu Manshur al-Maturidi). Hal ini tidak menafikan bahwa mereka adalah satu
golongan yaitu al-Jama’ah. Karena sebenarnya jalan yang ditempuh oleh
al-Asy’ari dan al-Maturidi dalam pokok aqidah adalah sama dan satu.
Adapun perbedaan yang terjadi di
antara keduanya hanya pada sebagian masalah-masalah furu’ (cabang) aqidah. Hal
tersebut tidak menjadikan keduanya saling menghujat atau saling menyesatkan,
serta tidak menjadikan keduanya lepas dari ikatan golongan yang selamat
(al-Firqah al-Najiyah).
Perbedaan antara al-Asy’ariyyah dan
al-Maturidiyyah ini adalah seperti halnya perselisihan yang terjadi antara para
sahabat nabi, perihal apakah Rasulullah melihat Allah pada saat Mi’raj?.
Sebagian sahabat, seperti ‘Aisyah dan Ibn Mas’ud mengatakan bahwa Rasulullah
tidak melihat Tuhannya pada waktu Mi’raj. Sedangkan Abdullah ibn 'Abbas
mengatakan bahwa Rasulullah melihat Allah dengan hatinya. Allah memberi
kemampuan melihat kepada hati Nabi Muhammad sehingga dapat melihat Allah.Namun
demikian al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah ini tetap sepaham dan sehaluan
dalam dasar-dasar aqidah.
Al-Hafizh Murtadla az-Zabidi (W.
1205 H) mengatakan:
“Jika dikatakan Ahlussunnah wal
Jama’ah, maka yang dimaksud adalah al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah
“. (al-Ithaf, juz 2 hlm 6)
Jadi aqidah yang benar dan diyakini
oleh para ulama salaf yang shalih adalah aqidah yang diyakini oleh
al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah. Karena sebenarnya keduanya hanyalah
meringkas dan menjelaskan aqidah yang diyakini oleh para nabi dan rasul serta
para sahabat. Aqidah Ahlusssunnah adalah aqidah yang diyakini oleh ratusan juta
umat Islam, mereka adalah para pengikut madzhab Syafi’i, Maliki,Hanafi, serta
orang-orang yang utama dari madzhab Hanbali (Fudhala’ al-Hanabilah).
Aqidah ini diajarkan di
pesantren-pesantren Ahlussunnah di negara kita, Indonesia. Dan al-Hamdulillah,
aqidah ini juga diyakini oleh ratusan juta kaum muslimin di seluruh dunia
seperti Indonesia, Malaysia, Brunei, India, Pakistan, Mesir (terutama
al-Azhar), negara-negara Syam (Syiria, Yordania, Lebanon dan Palestina),
Maroko, Yaman, Irak, Turki, Daghistan, Checnya, Afghanistan dan masih banyak
lagi di negara-negara lainnya. Maka wajib bagi kita untuk senantiasa penuh
perhatian dan keseriusan dalam mendalami aqidah al- Firqah al-Najiyah yang
merupakan aqidah golongan mayoritas. Karena ilmu aqidah adalah ilmu yang paling
mulia, sebab ia menjelaskan pokok atau dasar agama. Abu Hanifah menamakan ilmu
ini dengan al-Fiqh al-Akbar. Karenanya, mempelajari ilmu ini harus lebih
didahulukan dari mempelajari ilmu-ilmu lainnya.
Setelah cukup mempelajari ilmu ini baru disusul dengan ilmu-ilmu yang lain.
Inilah metode yang diikuti para sahabat nabi dan ulama rabbaniyyun dari
kalangan salaf maupun khalaf dalam mempelajari agama ini. Tradisi semacam ini
sudah ada dari masa Rasulullah, sebagaimana dikatakan sahabat Ibn 'Umar dan
sahabat Jundub:
Maknanya: “Kami -selagi remaja saat
mendekati baligh- bersama Rasulullah mempelajari iman
(tauhid) dan belum mepelajari al-Qur’an. Kemudian kami mempelajari al-Qur’an
maka bertambahlah keimanan kami". (H.R. Ibnu Majah dan dishahihkan oleh
al-Hafidz al- Bushiri).
Ilmu aqidah juga disebut dengan ilmu
kalam. Hal tersebut dikarenakan banyaknya golongan yang mengatas namakan Islam
justru menentang aqidah Islam yang benar dan banyaknya kalam (adu argumentasi)
dari setiap golongan untuk membela aqidah mereka yang sesat. Tidak semua ilmu
kalam itu tercela, sebagaimana dikatakan oleh golongan Musyabbihah (kelompok
yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya). Akan tetapi ilmu kalam terbagi
menjadi dua bagian: ilmu kalam yang terpuji dan ilmu kalam yang tercela. Ilmu
kalam yang kedua inilah yang menyalahi aqidah Islam karena sengaja dikarang dan
ditekuni oleh golongan-golongan yang sesat seperti Mu’tazilah, Musyabbihah
(golongan yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, sepeti kaum Wahabiyyah)
dan ahli bid’ah lainnya. Adapun ilmu kalam yang terpuji ialah ilmu kalam yang
dipelajari oleh Ahlussunah untuk membantah golongan yang sesat. Dikatakan
terpuji karena pada hakekatnya ilmu kalam Ahlussunnah adalah taqrir dan
penyajian prinsip-prinsip aqidah dalam formatnya yang sistematis dan
argumentatif; dilengkapi dengan dalil-dalil naqli dan aqli.
Dasar-dasar ilmu kalam ini telah ada
di kalangan para sahabat. Di antaranya, sahabat 'Ali ibn Abi Thalib dengan
argumentasinya yang kuat dapat mengalahkan golongan Khawarij, Mu’tazilah juga
dapat membantah empat puluh orang yahudi yang meyakini bahwa Allah adalah jism
(benda). Demikian pula sahabat 'Abdullah ibn Abbas, al-Hasan ibn 'Ali ibn Abi
Thalib dan 'Abdullah ibn Umar juga membantah kaum Mu’tazilah. Sementara dari
kalangan tabi’in; imam al-Hasan al- Bashri, imam al-Hasan ibn Muhamad ibn
al-Hanafiyyah; cucu sayyidina Ali ibn Abi Thalib dan khalifah Umar ibn Abdul
Aziz juga pernah membantah kaum Mu’tazilah. Kemudian juga para imam dari empat
madzhab; imam Syafi’i, imam Malik, imam Abu Hanifah, dan imam Ahmad juga
menekuni dan menguasai ilmu kalam ini. Sebagaimana dituturkan oleh al-Imam Abu
Manshur al-Baghdadi (W 429 H) dalam kitab Ushul ad-Din, al-Hafizh Abu al-Qasim ibn
‘Asakir (W 571 H) dalam kitabTabyin Kadzib al Muftari, al-Imam az-Zarkasyi (W
794 H) dalam kitab Tasynif al- Masami’ dan al 'Allamah al Bayyadli (W 1098 H)
dalam kitab Isyarat al-Maram dan
lain-lain.
lain-lain.
Allah berfirman:
óOn=÷æ$$sù ¼çm¯Rr&
Iw
tm»s9Î)
wÎ)
ª!$#
öÏÿøótGó$#ur
Î7/Rs%Î!
tûüÏZÏB÷sßJù=Ï9ur
ÏM»oYÏB÷sßJø9$#ur
3
ª!$#ur
ãNn=÷èt
öNä3t7¯=s)tGãB
ö/ä31uq÷WtBur
ÇÊÒÈ
“Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak
ada Tuhan (yang berhak
disembah) kecuali Allah dan mohonlah ampun atas dosamu". (Q.S. Muhammad :19)
disembah) kecuali Allah dan mohonlah ampun atas dosamu". (Q.S. Muhammad :19)
Ayat ini dengan sangat jelas
mengisyaratkan keutamaan ilmu ushul atau tauhid. Yaitu dengan menyebut kalimah
tauhid (la ilaha illallah) lebih dahulu dari pada perintah untuk beristighfar
yang merupakan furu’ (cabang) agama. Ketika Rasulullah ditanya tentang
sebaik-baiknya perbuatan, beliau menjawab:
Maknanya: “Iman kepada Allah dan
rasul-Nya”. (H.R. Bukhari)
Bahkan dalam sebuah hadits
Rasulullah mengkhususkan dirinya sebagai orang yang paling mengerti dan faham
ilmu tauhid, beliau bersabda:
Maknanya: “Akulah yang paling
mengerti di antara kalian tentang Allah dan paling takut kepada-Nya”.
(H.R. Bukhari)
Karena itu, sangat banyak ulama yang
menulis kitab-kitab khusus mengenai penjelasan aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah
ini. Seperti Risalah al-'Aqidah ath- Thahawiyyah karya al-Imam as-Salafi Abu
Ja’far ath-Thahawi (W 321 H), kitab al ‘Aqidah an-Nasafiyyah karangan al Imam
‘Umar an-Nasafi (W 537 H), al-‘Aqidah al- Mursyidah karangan al-Imam Fakhr
ad-Din ibn ‘Asakir (W 630 H), al 'Aqidah ash- Shalahiyyah yang ditulis oleh
al-Imam Muhammad ibn Hibatillah al-Makki (W 599 H); beliau menamakannya Hadaiq
al-Fushul wa Jawahir al Uqul, kemudian menghadiahkan karyanya ini kepada sultan
Shalahuddin al-Ayyubi (W 589 H).
Tentang risalah aqidah yang terakhir
disebutkan, sultan Shalahuddin sangat tertarik dengannya hingga beliau
memerintahkan untuk diajarkan sampai kepada anak-anak kecil di
madrasah-madrasah, yang akhirnya risalah aqidah tersebut dikenal dengan nama al
'Aqidah ash-Shalahiyyah.
Sulthan Shalahuddin adalah seorang
‘alim yang bermadzhab Syafi’i, mempunyai perhatian khusus dalam menyebarkan al
'Aqidah as-Sunniyyah. Beliau memerintahkan para muadzdzin untuk mengumandangkan
al 'Aqidah as-Sunniyyah di waktu tasbih (sebelum adzan shubuh) pada setiap
malam di Mesir, seluruh Negara Syam (Syiria, Yordania, Palestina dan Lebanon),
Mekkah, Madinah, dan Yaman sebagaimana dikemukakan oleh al Hafizh as-Suyuthi (W
911 H) dalam al Wasa-il ila Musamarah al Awa-il dan lainnya. Sebagaimana banyak
terdapat buku-buku yang telah dikarang
dalam menjelaskan al 'Aqidah as-Sunniyyah dan senantiasa penulisan itu terus
berlangsung.
- Ayyud As-Sikhitiani Rahimahullah (wafat th. 131 H), ia berkata: "Apabila aku dikabarkan tentang meninggalnya seorang dari Ahlus Sunnah seolah-olah hilang salah satu anggota tubuhku."
- Sufyan Ats-Tsaury Rahimahullah (wafat th. 161 H), ia berkata: "Aku diwasiatkan kalian untuk tetap berpegang kepada Ahlus Sunnah dengan baik, karena mereka adalah Al-Ghurabaa`. Alangkah sedikitnya Ahlus Sunnah wal Jama'ah."
- Fudhail bin 'Iyadh Rahimahullah (wafat th. 187 H) berkata: "...Ahlus Sunnah: Iman itu keyakinan, perkataan, dan perbuatan."
- Abu 'Ubaid Al-Qosim bin Salam Rahimahullah (hidup th. 157-224 H) berkata dalam muqoddimah kitabnya, Al-Limaan : "...maka sesungguhnya apabila engkau bertanya kepadaku tentang iman, perselisihan umat tentang kesempurnaan iman, bertambah dan berkurangnya iman dan engkau menyebutkan seolah-olah, engkau berkeinginan sekali untuk mengetahui tentang iman menurut Ahlus Sunnah dari yang demikian..."
- Imam Ahmad bin Hanbah Rahimahullah (hidup th. 164-241 H), beliau berkata dalam muqoddimah kitabnya As-Sunnah: "Inilah mazhab Ahlul 'Ilmi, Ash-Haabul Atsar dan Ahlus Sunnah, yang mereka kenal sebagai pengikut sunnah rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam dan para sahabatnya, dari semenjak zama para sahabat Radhiyallahu Anhu, hingga pada masa zaman sekarang ini..."
- Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari Rahimahullah (wafat th. 310 H), berkata: "...Adapun yang benar dari perkataan tetang keyakinan bahwa kaum mukminin akan melihat Allah pada hari kiamat, maka itu merupakan agama yang kami beragama dengannya, dan kami mengetahui bahwa Ahlus Sunnah wal Jama'ah berpendapat bahwa penghuni surga akan melihat Allah sesuai dengan berita yang Shahih dari Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam."
- Imam Abu Ja'far Ahmad bin Muhammad Ath-Thahawi Rahimahullah (hidup th. 239-321 H). Beliau berkata dalam muqoddimah kitab 'Aqidah yang mansyur (Al-'Aqiidatuth Thahwiyyah): "...ini adalah penjelasan tentang 'Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah."
Dengan penukilan tersebut, maka jelaslah bagi kita
bahwa lafaz Ahlus Sunnah sudah dikenal dikalangan salaf (generasi awal umat
ini) dan para umat sesudahnya istilah Ahlus Sunnah merupakan istilah yang
mutlak sebagai lawan kata Ahlul Bid'ah. Para ulama Ahlus Sunnah menulis
penjelasan tentang 'Aqidah Ahlus Sunnah agar umat faham tentang 'Aqidah yang
benar dan untuk membedakan antara mereka dengan Ahlul Bid'ah sebagai mana telah
dilakukan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Al-Barbahari, Imam Ath-Thahawi serta
yang lainnya.
Dan ini juga sebagai bantahan sebagai orang yang
berpendapat bahwa istilah Ahlus Sunnah pertama kali dipakai oleh golongan
Asy`ariyyah, padahal Asy`ariyyah muncul pada abad ke-3 dan ke-4 H.
Pada Hakikatnya, Asy`ariyyah tidak dapat dinisbatkan
kepada Ahlus Sunnah, karena beberapa prinsip yang mendasar, diantaranya :
- Golongan Asy`ariyyah menta`wil sifat-sifat Allah Ta`ala, sedangkan Ahlus Sunnah menetapkan sifat-sifat Allah sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, seperti istiwa`, wajah, tangan, Al-Qur-an Kalamullah, lainnya.
- Golongan Asy`ariyyah menyibukkan diri mereka dengan ilmu kalam, sedangkan ulama Ahlus Sunnah justru mencela ilmu kalam, sebagaimana penjelasan Imam Asy-Syafi`i Rahimahullah ketika mencela ilmu kalam.
Golongan Asy`ariyyah menolak kabar-kabar yang shahih
tentang sifat-sifat Allah, mereka menolak dengan akal dan qiyas (analogi)
mereka.
Kita memohon kepada Allah semoga kita
meninggal dunia dengan membawa aqidah Ahlissunah Wal Jamaah yang merupakan
aqidah para nabi dan rasul Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar