Jumat, 03 Februari 2012

penyakit malaria


KLIPING
KERJA ILMIAH
PENYAKIT MALARIA



DISUSUN OLEH :
ISTIYANINGSIH
PUTRI SUCI SETIOWATI
RIS TIANINGSIH
VIRDA ALIMATULCUSNA
ZUHANNA RETNONINGSIH
KELAS :
7B


SMP N 3 WELERI
2011 / 2012






BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Malaria sebagai salah satu penyakit menular, sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di berbagai negara terutama negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Berdasarkan data WHO dalam Murphy (2005), malaria menduduki ranking 5 dari 10 penyakit utama penyebab kecacatan dan kematian di negara-negara paling miskin di dunia. Penyakit ini tidak hanya menimbulkan gangguan kesehatan di masyarakat, tetapi telah menimbulkan kematian, di samping menurunkan produktivitas kerja dan dampak ekonomi lainnya.
Angka kesakitan malaria di Indonesia sejak empat tahun terakhir belum menunjukkan penurunan yang menggembirakan. Angka kesakitan di Jawa dan Bali yang diukur dengan Annual Parasite Incidence (API) sedikit naik dari 0,15‰ tahun 2004 menjadi 0,16 ‰ pada tahun 2007. Sementara angka kesakitan di luar Jawa dan Bali yang di ukur dengan Annual Malaria Incidence (AMI) telah menurun dari 21,2 ‰ tahun 2004 menjadi 19,67 ‰ pada tahun 2007, namun angka tersebut masih sangat jauh dari target nasional menuju Indonesia Sehat 2010 yang dicanangkan Depkes RI yaitu AMI 5‰ (Depkes RI, 2003).
Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam angka kesakitan malaria dalam empat tahun terakhir juga telah menurun dengan AMI 5,23 ‰ tahun 2000 menjadi 4,94 ‰ pada tahun 2003. Namun seiring dengan terjadinya bencana gempa bumi dan gelombang tsunami pada 26 Desember 2004, angka kesakitan malaria kembali menunjukkan adanya peningkatan dengan AMI 32,12 ‰ pada tahun 2005 menjadi 36,02 ‰ tahun 2006 kemudian turun menjadi 27,23‰ pada tahun 2007 (Dinkes NAD, 2007).
Kabupaten Bireuen merupakan salah satu kabupaten endemis malaria di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dengan kategori Low Incidence Area (LIA). Gambaran situasi penyakit malaria menunjukkan adanya peningkatan dengan AMI 12,79 ‰ pada tahun 2003 menjadi 14,05 ‰ pada tahun 2004 (Dinkes. Kabupaten Bireuen 2007).
Bencana tsunami 26 Desember 2004 berdampak langsung baik fisik maupun non fisik terhadap masyarakat kabupaten Bireuen yang tinggal di 9 Kecamatan dari 17 Kecamatan yang ada . Dampak turunan dari kejadian tersebut dikhawatirkan akan terjadi kenaikan kasus penyakit menular di antaranya malaria. Kekhawatiran akan terjadinya kenaikan kasus malaria antara lain disebabkan tingginya mobilitas penduduk dan banyaknya terjadi perubahan lingkungan yang diduga kuat akan memperluas atau menjadi tempat perindukan nyamuk penular malaria dan di wilayah tersebut yang kemungkinan ada sumber penular.
Untuk mengantisipasi kekhawatiran tersebut, pada tahun 2005 pemerintah pusat dan daerah Kabupaten Bireuen bekerja sama dengan berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) baik lokal maupun asing telah melakukan berbagai upaya untuk menekan angka kesakitan malaria, antara lain dengan melakukan penemuan penderita secara aktif (Active Case Detection) menggunakan alat diagnostik cepat Rapid Diagnostic Test (RDT) dan mengobati setiap penderita yang positif menggunakan terapi kombinasi dengan Artemicyn,
pendistribusian kelambu berinsektisida permethrin, dan penyemprotan rumah dengan menggunakan alpha cypermethrin (fendona 5 wp) dengan dosis 0,03 gr/m2.
Untuk meningkatkan kualitas kemampuan manajemen pemberantasan malaria, juga dilakukan pelatihan tenaga pengelola malaria kabupaten dan puskesmas. Kegiatan penanggulangan malaria dan monitoring yang terus-menerus dilakukan menjadikan kekhawatiran akan terjadinya kejadian luar biasa malaria di wilayah Kabupataen Bireuen terutama di daerah-daerah yang terkena tsunami tidak menjadi kenyataan, meskipun masih ada kenaikan kasus malaria di beberapa tempat.
Masalah malaria menjadi semakin sulit untuk diatasi dan diperkirakan akan menjadi hambatan bagi keberhasilan pembangunan kesehatan, oleh karena kejadian kesakitan dapat berlangsung berulang kali. Seorang penderita malaria bisa mengalami serangan ulang sebanyak 35 – 40 kali selama periode 3 – 4 tahun (Barnas, 2003).
Serangan ulang malaria antara lain berkaitan dengan eliminasi parasit fase eritrosit yang tidak sempurna karena pengobatan yang tidak adekuat dengan obat-obatan skizontisida darah, reaktifasi bentuk hipnozoit, rendahnya respon imun atau adanya reinfeksi dengan plasmodium baru (Cogswell, 1992).
Masih tingginya angka kejadian relaps pada penderita malaria di Indonesia antara lain dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang masih rendah serta sikap pencegahan dan pencarian pengobatan yang kurang baik pada saat kejadian malaria (Zega, 2006).
Hasil penelitian Ludji (2005) di Kecamatan Kupang Timur Nusa Tenggara Timur, mengatakan bahwa faktor umur, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, pengetahuan dan sikap mempengaruhi kesembuhan penderita malaria melalui keteraturan menelan obat.
Berdasarkan laporan tahunan Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen (2008) situasi penyakit malaria di Kabupaten Bireuen setelah bencana gempa dan tsunami terlihat berfluktuasi. Insiden malaria turun dari 14,05‰ tahun 2004 menjadi 13,82 ‰ pada tahun 2005, kemudian naik lagi menjadi 17,30 ‰ tahun 2006 dan 18,15‰ tahun 2007.
Insidens malaria tertinggi di Kabupaten Bireuen terjadi di Kecamatan Juli yang termasuk kategori Medium Insiden Area, dengan AMI sebesar 36,27 ‰ pada tahun 2005 meningkat menjadi 37,40 ‰ pada tahun 2006, kemudian turun menjadi 32,42 ‰ pada tahun 2007 (Dinkes Kab. Bireuen ).
Berdasarkan hasil survey pendahuluan yang penulis lakukan di 7 desa dengan kategori Medium Insiden Area di Kecamatan Juli terlihat bahwa tingginya jumlah penderita di wilayah ini tidak hanya disebabkan oleh penderita baru, tetapi juga karena terjadinya serangan ulang/kekambuhan atau relaps pada penderita lama. Jumlah penderita relaps meningkat dari 24,2% pada tahun 2006 menjadi 31,4% tahun 2007. Dari laporan kasus malaria per desa di Puskesmas Juli selama periode Januari sampai dengan Desember 2007 diketahui bahwa sebagian besar kasus relaps terjadi pada laki-laki berumur antara 25-40 tahun (82,2%) dan bekerja sebagai petani (61,7%).
Berdasarkan uraian diatas maka penulis ingin melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian relaps pada penderita malaria di Kecamatan Juli tahun 2008.

1.2 Permasalahan
Meskipun kejadian malaria telah menurun dibanding tahun-tahun sebelumnya namun Kecamatan Juli masih merupakan daerah rawan malaria dengan kategori Medium Insiden Area. Tingginya kejadian malaria di wilayah ini tidak hanya disebabkan oleh penderita baru, tetapi juga karena meningkatnya penderita relaps dari 24,2% tahun 2006 menjadi 33,8% pada tahun 2007.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka perlu diketahui beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian relaps pada penderita malaria di Kecamatan Juli.
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan menganalisis faktor kejadian relaps pada penderita malaria di Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen tahun 2008.
1.4 Hipotesis
1.      Ada pengaruh karakteristik penderita yang meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan dan pekerjaan terhadap kejadian relaps pada penderita malaria di Kecamatan Juli.
2.      Ada pengaruh perilaku yang meliputi pengetahuan, sikap dan tindakan terhadap kejadian relaps pada penderita malaria di Kecamatan Juli.
3.      Ada pengaruh faktor lingkungan terhadap kejadian relaps pada penderita malaria di Kecamatan Juli.
1.5 Manfaat Penelitian
1.      Memperoleh gambaran mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian relaps pada penderita malaria di Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen tahun 2008.
2.      Sebagai bahan pertimbangan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen dalam perencanaan
pengendalian dan penanggulangan penyakit malaria di Kabupaten Bireuen khususnya di kecamatan Juli.
3.      Menjadi bahan masukan bagi pembuat kebijakan untuk pengambilan keputusan dalam program penanggulangan malaria di Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen

Tidak ada komentar:

Posting Komentar